ARUSBAWAH.CO - Pukul lima hingga tujuh pagi, aroma sayur segar, aneka daging, dan buah-buahan lokal masih sempat tercium di Pasar Subuh, Jalan Yos Sudarso, RT 02 Kelurahan Karang Mumus, Kota Samarinda.
Namun kini, suara tawar-menawar antara pedagang dan pembeli itu telah hilang.
Lapak-lapak yang berdiri selama puluhan tahun itu hanya tinggal puing-puing.
Lapak pedagang di Pasar Subuh, yang telah berusia lebih dari 50 tahun, dibongkar, digusur paksa oleh aparat Satpol PP Samarinda.
Para pedagang menangis menyaksikan tempat mereka menggantungkan hidup dihancurkan tanpa kompromi dan tanpa ruang untuk mediasi.
“Saya sedih banget kalau dibilang perasaan. Sedih, hancur, berkeping-keping. Seolah-olah tidak ada harapan. Karena apa? Karena penghasilan kami ini di sini. Nyata penghasilan kami di sini. Kenapa kami harus dipindah paksa tanpa adanya kompromi?” kata Farida (50), salah satu penjual sayur yang sudah berjualan di sana lebih dari 25 tahun ditemui redaksi Arusbawah.co
Lapak-lapak kecil yang rapi sejak dini hari hingga pukul sembilan pagi itu bukan sekadar tempat jual beli.
Pasar Subuh Samarinda adalah nadi kehidupan bagi puluhan pedagang yang menggantungkan harapan dari hasil berjualan.
Farida tak mampu menahan tangis air mata saat menyaksikan pembongkaran lapak-lapak itu.
Ia menilai tindakan petugas arogan, tanpa empati, dan tanpa dialog yang adil.
Farida menyebut tindakan itu sebagai bentuk penindasan terhadap rakyat kecil yang tak mampu bersuara lantang.
“Dengan kasarnya mereka, para aparat polisi dan Satpol PP, membongkar lapak kami. Kalau kami harus dipindahkan, sangat sedih sekali. Saya nangis nggak berhenti. Kejam sekali mereka,” ujarnya dengan mata sembab.
Lokasi relokasi yang disiapkan Pemerintah Kota Samarinda disebut tidak memadai dan tidak sesuai dengan kebutuhan para pedagang.
Mereka menyebut tempat yang disediakan sepi pembeli, rawan banjir, dan jauh dari komunitas pelanggan yang telah terbentuk selama lima dekade.
Para pedagang merasa seolah dilempar ke ruang hampa, di mana harapan nyaris tidak ada.
“Sedangkan keperluan kami bersama teman-teman banyak sekali. Ada yang sekolahkan anak, ada yang kuliahkan anak, ada yang kredit rumah belum selesai, ada cicilan yang lain-lain. Bagaimana kami bisa membayar?” tanya Farida sambil terisak.

Tag