SAMARINDA, Arusbawah.co - Ngatemi (59) tak menyangka jalan hidupnya kini susah. Dia hidup bersama suaminya Yohanes (57) dalam kondisi keterbatasan ekonomi.
Keduanya berdiam di sebuah rumah kayu ukuran kecil di RT 3 Jalan Kediri, Kelurahan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Sejak dua tahun terakhir suaminya terserang stroke dan katarak hingga tak bisa kerja, ia terbaring lemah. Hari-hari Ngatemi, hanya mengurus suaminya dan tanam sayur di kebun samping rumahnya.
Awal menetap di Samarinda tahun 1974, Ngatemi bersama suaminya hidup berkecukupan. Dia datang ke Samarinda dari Sembon, Malang, Jawa Timur melalui program transmigrasi. Ia menikah dengan suaminya, 1991.
Setelah menikah, ia dan suami mengelola sawah miliknya, letaknya tak jauh dari kediamannya. Keduanya hidup berkecukupan karena hasil panen melimpah. Dalam setahun bisa panen sampai 40 karung padi.
Tak hanya hasil panen, pepohonan yang hijau memberi suasana sejuk di sekitar pemukiman dan sawah miliknya. Sebab, dulu kata Ngatemi, wilayah di sekitar kediamannya mereka masih hutan.
Namun, keadaan itu berbalik 180 derajat, ketika masuk pertambangan batu bara, beroperasi tepat di samping sawahnya. Awalnya sebagian masyarakat menolak. Namun, tak berdaya. Aktivitas pertambangan tetap berjalan. Titik eksplotasi jaraknya hanya berkisar 100 - 200 meter dari sawah miliknya.
Sejak itu, sawahnya sering kebanjiran. Tak hanya dia, petani lain juga begitu. Hasil panen mulai menurun. Tak jarang keduanya gagal panen karena terendam banjir dan lumpur.
"Sekarang sebentar - sebentar banjir. Selama ada tambang di situ kami sering kebanjiran terus. Sawah saya kebanjiran. Sebelum ada tambang tanaman masih subur," kata Ngatemi saat ditemui di kediamannya, Senin (15/11/2021).
"Setelah ada tambang tanaman jadi rusak. Kadang sawah kami terkena dampak (minyak) solar. Banjir lumpur sampai padi nggak kelihatan. Pondok sampai naik banjir. Habis banjir hawa datang serang bibit padi," sambung dia.
Tak hanya itu, cuaca yang sebelumnya sejuk berubah jadi panas dan debu akibat lalu lintas kendaraan tambang. Karena pepohonan yang hijau dulu, kini menjadi lahan gundul.
Dampak lain, kata Ngatemi, sawah miliknya dan petani sekitar juga sering kekurangan air ketika musim panas.
"Musim hujan banjir, musim panas kekurangan air. Sawah pecah-pecah, padi gagal panen," terang dia.
Ngatemi mengaku tak dapat manfaat apapun kehadiran tambang di lokasi tersebut. Yang ia terima hanya dampak negatif.
"Ya nggak ada untungnya (saat tambang masuk). Yang untung ya bos - bosnya. Kami kan petani, kalau kebanjiran enggak bisa panen, kena lumpur," kata dia.
Ngatemi pengen penggunaan batu bara segera disetop agar tak ada lagi pertambangan yang memberi dampak buruk ke lahan persawahannya.
"Ya kami petani ini, pengen enggak ada tambang. Biar saya bisa tanami sawahku. Orang (petani) situ banyak enggak tanam," kata dia.

Sejak dua tahun terakhir, Ngatemi bersama suaminya tak lagi garap sawahnya karena sering gagal panen. Di saat bersamaan, suaminya juga terserang stroke dan katarak.
"Sekarang sawah kami digarap orang. Saya urus tanam pisang, lombok, sayuran di kebun samping rumah sambil urusin bapak (suami)," ucap dia.
"Aku tanam-tanam pisang, buah-buahan dan sayuran ini kalau waktunya berbuah kami bisa petik makan. Kalau aku sakit nanti, kami bisa makan," sambung dia liri.
Setiap paginya, Ngatemi segera beranjak dari tidurnya. Dia menyiapkan sarapan suaminya yang terbaring lemah lalu ke kebun untuk memetik sayuran seadanya diolah untuk makan siang bersama suaminya.
Penulis: Zaki