Pemerintah dinilai hanya fokus pada penertiban tanpa solusi yang layak.
“Kok seperti ini? Kami hanya minta ditunda sampai selesai arisan. Kalau kami digusur, tolong carikan tempat dekat sini. Karena pembelinya orang sekitar sini,” pinta Bu Farida.
Perempuan itu mengaku, penghasilannya hanya berasal dari berjualan di Pasar Subuh, begitu juga dengan suaminya.
Mereka bekerja berdua di satu lapak yang sama, untuk satu anak, yang biaya hidupnya seakan membiayai lima anak.
“Kami cuma mau tetap bisa hidup, tetap bisa jualan untuk biaya hidup kami dan anak kami,” katanya.
Para pedagang bahkan sadar, mereka bukanlah pedagang kaki lima liar yang menempati trotoar jalan.
Mereka ditata oleh pemerintah, diberi taplak khas Kalimantan, bahkan diakui oleh kelurahan Karang Mumus sejak tahun 2009.
Namun kini, semua itu seakan dilupakan. Mereka menilai tidak ada ruang musyawarah, hanya penggusuran paksa yang menyisakan luka.
“Kami hanya bisa berdoa. Semoga Allah memberikan rezeki berlimpah. Kami pasrah. Tapi rasa sakit ini akan kami ingat. Mereka menggusur kami tanpa rasa bersalah. Kami ini rakyat kecil. Kami ini manusia juga,” tutupnya penuh harapan.
Melansir pemberitaan Tribunkaltim.co, Pemkot melalui Dinas Perdagangan Samarinda, menegaskan bahwa relokasi pedagang Pasar Subuh bukanlah kebijakan yang muncul tiba-tiba.
Langkah ini merupakan bagian dari proses panjang yang sudah dirintis sejak lebih dari 20 tahun lalu.
Kepala Dinas Perdagangan Samarinda, Nurrahmani—yang akrab disapa Yama—mengungkapkan bahwa penataan kawasan pasar tersebut telah melewati sejumlah tahapan penting. Salah satunya adalah permohonan dari pemilik lahan kepada pemerintah untuk merelokasi para pedagang, yang pertama kali diajukan sejak tahun 2014.
“Awalnya, lahan tempat pasar itu memang dibangun oleh pemiliknya sendiri. Permasalahan ini sudah berlangsung lama. Pada tahun 2014, pemilik lahan sempat mengajukan permohonan kepada Wali Kota agar pasar direlokasi," ujarnya.
(Irwan)

Tag