Ia menyesalkan banyaknya praktik tanpa izin dan terapi yang asal-asalan.
“Sekarang banyak yang baru belajar sebentar, langsung buka praktik, pasang iklan. Risiko buat pasiennya besar. Harusnya pelatihan itu total. Saya 20 tahun baru berani buka ke publik,” ungkapnya.
Isman juga menjelaskan bahwa proses terapi tidak sekadar menyentuh fisik.
Ia selalu memulai dengan pendekatan personal, menggali latar belakang pasien, dan memahami kondisi penyakit yang dialami pasiennya.
“Saya nggak langsung pegang. Saya tanya dulu, sakitnya gimana, sejak kapan. Sampai benar-benar paham. Tubuh itu akan merespons ketika kita kenal dan dipercaya,” jelasnya.
Bahkan, setelah terapi selesai, ia selalu memberi saran lanjutan.
Mulai dari posisi tidur, kebiasaan mengangkat galon, hingga konsumsi herbal alami seperti biji mahoni.
“Saya nggak jualan herbal, tapi saya rekomendasikan kalau bisa. Saya sendiri konsumsi biji mahoni buat diabetes. Dulu gula darah saya 200, sekarang stabil di angka 119,” katanya.
Teknik keretak milik Isman juga terbukti membantu pasien-pasien lansia yang mengalami kesulitan beribadah sholat akibat nyeri sendi.
“Banyak ibu-ibu yang nggak bisa lipat kaki. Jadi shalatnya duduk terus. Saya bantu terapi sampai mereka bisa ruku’ dan sujud lagi. Itu kepuasan yang nggak bisa dibayar,” tambahnya.
Kini, selain sibuk melayani pasien setiap hari, Isman terus membagikan edukasi lewat video pendek yang ia rekam sendiri.
Semua dilakukan sendiri, tanpa tim, dan tanpa kru.
“Saya nggak punya kameramen. Video saya cuma ngobrol sambil rekam. Tapi orang jadi nggak takut, karena lihat langsung prosesnya,” ujarnya.
Meski ramai di media sosial, Isman menolak disebut sebagai tabib atau dukun.
Ia menegaskan bahwa metode yang ia gunakan berdasarkan pengalaman, pelatihan, dan pemahaman anatomi tubuh yang dipelajari secara bertahap.
“Ini bukan sulap atau semacam dukunlah, tabib lah itu bukan. Tapi latihan bertahun-tahun dan keahlian ini dibantu dengan Allah swt. Saya nggak pernah berhenti belajar,” pungkasnya.
