Di sisi lain, masyarakat yang menjadi korban dari sistem kapitalisme politik ini sering kali terjebak dalam apatisme. Mereka yang menyadari bahwa politik uang adalah bentuk korupsi, tetap menerima uang tersebut karena merasa tidak ada pilihan lain.
Bagi banyak orang, politik uang dianggap sebagai 'kompensasi' dari sistem yang tidak adil. Masyarakat yang apatis ini merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan signifikan dalam sistem politik yang korup, sehingga memilih untuk mendapatkan keuntungan sesaat daripada menuntut reformasi yang lebih besar.
Apatisme ini sangat memprihatinkan karena semakin memperkuat kapitalisme politik. Ketika masyarakat berhenti menuntut pemimpin yang bersih dan berintegritas, serta hanya menilai kandidat dari seberapa besar uang yang mereka terima, siklus korupsi menjadi
semakin sulit diputus.
Politisi yang terpilih dengan cara ini tidak memiliki dorongan moral
untuk melayani kepentingan rakyat. Sebaliknya, mereka akan lebih fokus pada pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok elit yang mendukung mereka.
Praktik politik uang juga menunjukkan bagaimana relativisme moral berkembang di kalangan politisi dan masyarakat. Bagi politisi, menggunakan uang untuk membeli suara dianggap sebagai cara yang sah untuk meraih kekuasaan, selama hasilnya adalah kemenangan.
Moralitas dalam konteks ini menjadi relatif; tindakan yang dianggap salah dalam satu situasi bisa dibenarkan dalam konteks lain, terutama ketika berkaitan dengan ambisi kekuasaan.
Di sisi lain, masyarakat yang religius secara ritual tetapi tidak spiritual dalam tindakan, justru menjustifikasi penerimaan uang politik sebagai 'rezeki' atau berkah yang sah, meskipun jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama yang mereka anut.
Kapitalisme politik yang difasilitasi oleh oligarki juga memperlihatkan bagaimana kesenjangan moral semakin meluas. Para elit politik dan ekonomi yang terlibat dalam politik uang sering kali menjustifikasi tindakan mereka dengan menganggap bahwa ini adalah bagian
dari permainan politik yang wajar.
Mereka beranggapan bahwa demi mencapai kekuasaan, segala cara, termasuk korupsi dan manipulasi suara, bisa dibenarkan. Dengan kata lain, moralitas menjadi alat tawar-menawar dalam sistem kapitalisme politik yang transaksional, di mana kekayaan dan kekuasaan dipertukarkan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat luas.
Oligarki di Indonesia, seperti yang terlihat dalam berbagai kasus korupsi besar, berfungsi sebagai penggerak utama kapitalisme politik. Mereka bukan hanya mendanai kampanye politisi, tetapi juga mempengaruhi kebijakan negara untuk menguntungkan diri mereka sendiri.
Sebagai imbalan atas dukungan finansial mereka, politisi sering kali
memberikan akses eksklusif kepada oligarki dalam hal sumber daya alam—pertambagan, kebun kelapa sawit, proyek infrastruktur besar—strategis nasional atau pengaturan pasar tertentu—kuota impor.
Dengan cara ini, kapitalisme politik tidak hanya bertumpu pada praktik
politik uang yang melibatkan masyarakat secara langsung, tetapi juga pada pengaturan elit yang lebih tinggi, di mana para oligarkis memegang kendali atas perekonomian negara melalui koneksi politik yang kuat.
Contoh nyata dari hubungan antara oligarki dan kapitalisme politik bisa dilihat dalam berbagai proyek infrastruktur besar yang sering kali dikendalikan oleh segelintir perusahaan besar yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.
Proyek-proyek ini, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik, pada kenyataannya hanya memperkaya segelintir elit yang memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan.
Dalam hal ini, oligarki tidak hanya mempengaruhi kebijakan, tetapi juga memperkuat dominasi mereka atas sektor ekonomi strategis, memperparah ketimpangan ekonomi dan sosial di masyarakat.
Tag