Opini

Menata Ulang Masa Depan Demokrasi di Tanah Air Menuju Indonesia Emas

Minggu, 26 Januari 2025 9:10

Daniel Mahendra Yuniar (depan berbatik hijau)/ HO

ARUSBAWAH.CO - Baru saja kita menyelesaikan hingar-bingar pesta demokrasi serentak di Indonesia melalui pemilu legislatif dan eksekutif, sebuah momentum penting yang mencerminkan dinamika kehidupan demokrasi di negeri ini.

Pemilu tersebut bukan sekadar rutinitas politik, melainkan juga menjadi ajang bagi rakyat untuk menentukan arah masa depan bangsa.

Meski diwarnai berbagai dinamika, seperti tantangan teknis dan isu politik uang, antusiasme rakyat dalam menggunakan hak pilih tetap menjadi bukti nyata bahwa demokrasi di Indonesia masih bertahan.

Namun, lebih dari dua dekade sejak runtuhnya rezim Orde Baru yang totaliter dan lahirnya era Reformasi, potret demokrasi Indonesia tampak belum mengalami perubahan signifikan.

Harapan akan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang lebih baik, bersih, dan berkeadilan masih jauh dari kenyataan. Alih-alih membawa perbaikan, Reformasi malah membuka jalan bagi penguatan praktik oligarki, di mana kekuasaan politik dan ekonomi terkonsentrasi di tangan segelintir elit.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kapitalisme politik dan korupsi tetap menjadi hambatan utama dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Salah satu manifestasi dari kondisi ini adalah maraknya politik uang yang terus digunakan sebagai alat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kegagalan Reformasi dalam membangun tata kelola yang baik, tetapi juga menunjukkan bagaimana kapitalisme politik, yang didorong oleh dominasi oligarki, telah mengakar kuat di Indonesia.

Ironisnya, masyarakat semakin terjebak dalam sikap apatis dan

mulai menerima praktik-praktik ini sebagai hal yang tak terhindarkan dalam sistem politik yang dianggap penuh dengan permainan kotor.

Politik uang adalah fenomena yang sudah tak asing lagi di Indonesia, terutama saat pemilu dan pilkada berlangsung. Para calon pemimpin menggunakan uang sebagai alat untu membeli suara, baik melalui pemberian langsung kepada pemilih maupun melalui janji proyek

dan bantuan sosial yang sarat dengan kepentingan pribadi.

Di balik layar, oligarki—kelompok kecil yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik—berperan besar dalam memfasilitasi politik uang ini.

Para oligarkis sering kali menjalin kesepakatan dengan para politisi, mendanai kampanye mereka dengan imbalan akses ke kebijakan atau proyek strategis yang menguntungkan mereka.

Dalam sistem kapitalisme politik yang dijalankan oleh oligarki, kekuasaan politik menjadi alat untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok, menggerus nilainilai demokrasi.

Para politisi yang terpilih melalui dukungan oligarki dan praktik politik uang tidak lagi memiliki dorongan moral untuk melayani kepentingan rakyat. Mereka lebih terfokus pada pengembalian modal politik yang diinvestasikan oleh para elit ekonomi.

Dalam hal ini, politik uang berfungsi sebagai investasi awal, sementara kebijakan dan proyek negara menjadi instrumen pengembalian keuntungan bagi oligarki. Proses ini terus berulang dalam siklus yang

memperkuat oligarki dan meminggirkan kepentingan publik.

Pada akhirnya, sistem kapitalisme politik yang didominasi oleh oligarki menjerumuskan negara ke dalam kebijakan-kebijakan yang cenderung mengeksploitasi sumber daya negara untuk memperkaya segelintir

orang.

Tag

MORE