ARUSBAWAH.CO - Kartel tidak hanya terjadi dalam sistem perekonomian suatu negara, termasuk di Indonesia, dimana keberadaan kartel ini akan menimbulkan distorsi harga dan menjadikan persaingan tidak sehat antar pelaku ekonomi.
Sementara dalam sistem perpolitikan dengan multi partai politik (Parpol), kartel terbentuk melalui koalisi Parpol, karena aturan/ketentuannya memungkinkan untuk itu melalui penetapan ambang batas, baik berupa penetapan electoral tracehold sebesar 20 % maupun akumulasi suara sah sebesar 25 %.
Tulisan ini sekadar mengingatkn bahwa apabila tidak ada perubahan aturan/ketentuan yang mengaturnya maka fenomena calon tunggal pasangan Kepala Daerah akan selalu terjadi, sebagai implikasi sistem borong (koalisi) Parpol.
Dampaknya tentu merugikan penduduk selaku pemegang hak suara, yaitu dibatasi hak pilihnya atau tidak diberikan alternatif pilihan calon pemimpin berkualitas.
Dalam ilmu ekonomi dikenal adanya istilah kartel, dimana secara sederhana dapat diartikan sebagai kerjasama antara beberapa perusahaan (pengusaha) yang saling menguntungkan di antara mereka.
Dalam prakteknya kerjasama dimaksud dapat berupa penentuan kesepakatan harga, jumlah produksi dan wilayah pemasaran, agar dapat mengurangi persaingan di antara mereka.
Pada tingkatan ekstrim kartel ini berpeluang mengarah pada monopoli yang merugikan konsumen terutama dari aspek harga yang dapat dipermainkan sepihak (“menjadi lebih mahal”) dan membuat pesaing lainnya di luar kelompok mereka menghadapi kesulitan untuk memasuki pasar, sehingga menjadikan persaingan tidak sehat dalam sistem ekonomi, atau terjadinya kondisi pasar yang tidak berfungsi dengan baik (tidak sempurna).
Bagaimana halnya dalam ranah politik; apakah ada kemungkinan mengadopsi kartel ekonomi ini menjadi kartel politik?
Tanpa disadari, faktanya sudah terjadi saat ini di Indonesia dimana konsepnya dalam bentuk koalisi partai untuk memenangkan suara pemilih pada Pilpres maupun Pilkada.
Partai yang berkoalisi mensepakati pasangan yang akan diusung serta manuver politik yang akan dilakukan bersama.
Apabila konsep dasarnya seperti itu tentunya tidak ada masalah. Namun dalam prakteknya, koalisi dimaksud merambah sampai pada kepentingan politik lainnya di lingkungan legislatif (parlemen) dan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan (eksekutif), karena komitmen politik yang telah disepakati sejak awal terbentuknya koalisi.
Secara yuridis formal sangat dimungkinkan pembentukan koalisi Parpol, karena telah diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tanggal 14 November 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pasal 8 yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusung oleh Parpol secara tunggal atau gabungan Parpol.
Selanjutnya dalam pasal 9 menyebutkan bahwa Parpol/gabungan Parpol peserta Pemilu yang menjadi pengusung pasangan calon Presiden/Wakil Presiden harus memperoleh minimal 20 % kursi di DPR atau memperoleh 25 % suara sah nasional dalam Pemilu DPR, dengan ketentuan bahwa calon pasangan dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 5.
Sementara itu, untuk calon Kepala Daerah, baik calon Gubernur dan Wakil Gubernur maupun calon Bupati/Walikota beserta Wakil-nya adalah merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2020 tanggal 11 Agustus 2020 tentang PP Pengganti UU (PERPU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi UU.
Akan tetapi substansi dari aturan/ketentuan tadi tetap melekat pada PERPU Nomor 1 Tahun 2014 tanggal 2 Oktober 2014, yang telah ditetapkan menjadi UU berdasarkan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2015 tanggal 2 Pebruari 2015 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang hal disebutkan diatas.
Berdasarkan pasal 39 huruf a tegas menyebutkan calon pasangan Kepala Daerah yang akan turut serta dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (“Pilkada”) harus diusung oleh Parpol/gabungan Parpol.
Kemudian dalam pasal 40 ayat (1), Parpol atau gabungan Parpol yang mengusung calon pasangan Kepala Daerah minimal memiliki 20 % kursi di DPRD (electoral threshold); atau 25 % perolehan suara sah pada Pemilu DPRD di daerah setempat.
Namun sesuai ayat (3) pasal yang sama menegaskan bahwa akumulasi 25 % perolehan suara sah dimaksud ayat (1) hanya berlaku bagi Parpol yang memperoleh kursi di DPRD.
Hal inilah penghambat bagi gabungan Parpol lainnya yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk dapat mengajukan usulan pasangan Kepala Daerah, selain faktor penghambat electoral threshold sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Adapun persyaratan untuk dapat diusulkan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur maupun calon Bupati/Walikota dan calon Wakil Bupat/Walikota diatur dalam pasal 7.
Terbitnya UU Nomor 8 Tahun 2015 tanggal 18 Maret 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015, secara substantif tidak ada perubahan prinsip yang mengatur persyaratan calon Kepala Daerah, kecuali menghapus ketentuan pasal 7 huruf d, yaitu terkait dengan tidak adanya keharusan telah mengikuti uji publik.
Sedangkan mengenai pencalonan pasangan Kepala Daerah, baik untuk Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati/Walikota beserta Wakil-nya, tetap diajukan oleh Papol atau gabungan Porpol, baik berdasarkan perolehan 20 % kursi di DPRD ataupun 25 % suara sah hasil Pemilu DPRD di Daerah, namun tetap berlaku bagi Parpol yang memperoleh kursi DPRD setempat.
Kenapa kartel diharamkan dalam sistem perekonomian suatu negara; jawabannya sederhana saja, karena akan menciptakan distorsi harga yang merugikan konsumen akhir (penduduk pada umumnya), akibat tidak adanya persaingan sehat antar produsen (perusahaan).
Kondisi ini, apabila dibiarkan akan mengarah pada upaya monopoli.
Hal ini identik dengan kartel politik (“koalisi Parpol”).
Tag