Selain itu, sangat tidak tepat bila izin tambang diberikan kepada ormas keagamaan yang secara kelembagaan tujuannya untuk mengembangkan nilai-nilai kehidupan beragama yang jauh dari nilai-nilai bisnis.
"Sebagai warga negara dan sekaligus anggota Persyarikatan Muhammadiyah, upaya judicial review terhadap PP 25/2024 merupakan bagian dari Jihad Konstitusi. Pemberian konsesi kepada ormas keagamaan pada sektor batu bara yang hanya mencakup wilayah eks PKP2B (Pasal 83A ayat 2), dengan jangka waktu penawaran terbatas lima tahun (Pasal 83A ayat 6), bukan saja hanya menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan sosial yang signifikan, tetapi juga berpotensi kuat menjadi bentuk risywah politik." katanya.
"Hal ini bertentangan dengan Teologi al-Maun Hijau Muhammadiyah, yang mengutamakan perlindungan lingkungan dan menolak ekstraktivisme, sesuai dengan prinsip Dar’ul Mafasid Muqaddamun ala Jalbil Masalih," di mana mencegah keburukan dan kerusakan harus didahulukan daripada mengejar manfaat dan keuntungan,” kata Wahyu Agung Perdana kemudian.
Pada akhirnya, Tim Advokasi Tolak Tambang berharap kepada Mahkamah Agung agar mengabulkan permohonan ini seluruhnya, dan menuntut ormas keagamaan untuk tidak terlibat dalam kegiatan bisnis pertambangan tersebut, serta berharap bahwa ormas keagamaan dapat kembali kepada tujuan semula masing-masing ormas, yakni untuk membina dan memberikan perlindungan umat.
Sebagai informasi, berikut beberapa Pemohon yang terdiri dari Lembaga masyarakat dan kuasa hukum yang akan mengajukan permohonan judicial review ke MA yaitu, Lembaga Naladwipa Instutute for Social and Cultural Studies, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Perserikatan Solidaritas Perempuan.
Selain itu,l pemohon juga ada dari pihak perseorangan, di antaranya adalah Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D, Wasingatu Zakiyah, S.H., M.A dan Muhamad Isnur, S.H.I. (wan)
Tag