Selain itu, Nadia memandang, orang muda perlu mendapatkan dukungan non finansial, misalnya area publik yang bisa diakses. Dengan begitu, ketika akan mengadakan pertemuan atau kegiatan, pilihannya tidak terbatas pada hotel atau meeting room yang memerlukan sejumlah dana. Seandainya mereka bisa mengakses perpustakaan umum secara gratis, pasti akan lebih membantu.
“Mereka juga memerlukan akses informasi yang updated. Selama ini diskusi soal isu lingkungan biasanya hanya dari sudut pandang orang lapangan atau secara ilmiah. Padahal, banyak pihak lain yang bisa dieksplorasi. Kita perlu punya ruang untuk berdiskusi dengan orang dari latar belakang berbeda, sehingga kita bisa mendengarkan opini dari perspektif yang selama ini tidak kita miliki,” kata Nadia.
Dibandingkan dengan orang muda dari negara ASEAN lain, ternyata hasilnya tak jauh berbeda dari survei terhadap orang muda Indonesia. Misalnya, tentang kegiatan yang paling disukai dan yang paling tidak disukai.
“Di Indonesia kegiatannya menekankan pada penyelamatan hutan dan konservasi spesies. Tapi, bukan berarti mereka sebenarnya tidak melakukan hal lain. Banyak orang muda Indonesia yang menjalin kerja sama dengan media, banyak pula yang melakukan kegiatan lingkungan dari sudut pandang non konservasi,” kata Nadia.
Ia melihat, rata-rata orang muda Indonesia sudah aware terhadap isu lingkungan. Dari survei terlihat tak sedikit responden yang proyeknya berkisar di topik pengetahuan tradisional. Mereka mendokumentasikan praktik kearifan lokal, mereka belajar ngobrol dengan masyarakat adat.
“Lalu, apakah kita ingin orang muda Indonesia hanya punya pemahaman yang baik soal menjaga alam? Ataukah seharusnya mereka sudah memahami hal yang lebih jauh lagi? Contohnya, kita melihat biodiversitas merupakan sumber kehidupan. Kalau kita sudah menyadari hal tersebut, kenapa kita masih melihat biodiversitas sebagai komoditas? Betul, di satu sisi biodiversitas bisa menjadi komoditas. Tapi, adakah ruang-ruang yang memungkinkan kita untuk lebih berinovasi? Jangan-jangan praktik yang selama ini kita lakukan tidak efektif,” kata Nadia.
Banyaknya role model dari kalangan high profile, termasuk selebritas, berpengaruh terhadap munculnya awareness tersebut.
Namun, Nadia mengamati, hadirnya role model itu bukan untuk menginspirasi, melainkan lebih mendorong orang muda untuk memikirkan hal yang dilakukan oleh panutannya. Punya profil yang inspiring bisa sangat berpengaruh.
Dari role model-nya, orang muda bisa belajar tentang cara berpikir kritis, misalnya.
Di sisi lain, role model tidak cukup. Nadia memandang, orang muda memerlukan mentor yang tepat.
“Mentor tersebut bukan hanya mendukung apa yang sudah dilakukan, tapi untuk memberikan pandangan yang belum pernah kita dengar. Punya mentor akan sangat membantu orang muda dalam bergerak. Dengan bimbingan mentor, kita bisa memahami apa yang sebenarnya kita inginkan. Kita juga bisa belajar dari pengalaman para mentor.”
Orang muda diharapkan bisa mencari mentor sesuai kebutuhan masing-masing.
Apakah kita memerlukan mentor untuk menambah pengetahuan, jejaring, atau membantu membangun kepribadian kita, membuka pikiran kita? Dan, mentor ini bisa dari kalangan mana pun, termasuk pihak yang kegiatannya tidak terkait sama sekali dengan isu lingkungan. Kalaupun dari pemerintahan, mentornya tidak harus dari bidang-bidang terkait lingkungan.
“Selama ini pihak pemerintah cukup terlibat dalam kegiatan orang muda. Hanya saja, masih ada gap pengetahuan dan gap pemahaman. Kami berharap sektor-sektor pembuat keputusan bisa lebih menyediakan ruang untuk terlibat lebih aktif. Kami percaya bahwa pengalaman adalah guru terbaik, dan kami sangat ingin belajar dari generasi sebelumnya, termasuk dari sektor pemerintah.“
Nadia beharap, di masa mendatang keterlibatan orang muda tidak lagi dipandang sebagai maskot, melainkan sebagai rekan yang setara, yang punya andil langsung, yang punya suara yang tidak lagi diremehkan. (pra)
Tag