Tapi, mereka sering kali tidak menyadari sudah melakukan apa saja.
“Pendokumentasian ini sangat penting untuk melacak kegiatan apa saja yang sudah dilakukan. Ketika sudah menyadari apa yang sudah mereka lakukan, mereka bisa lebih memahami pola kegiatan mereka. Dengan begitu, di masa mendatang mereka bisa menyusun rencana strategis untuk melakukan sesuatu. Selain itu, mereka bisa mengukur apakah kegiatan mereka sudah berdampak atau belum, apakah sudah ada sistem monitoring-nya atau belum,” kata Nadia.
Selain itu, dari sudut pandang pengambilan keputusan, pemetaan tersebut menjadi sebuah informasi yang menguatkan bahwa anak muda memang benar-benar punya kontribusi.
Namun, ketika bicara soal pencapaian target global, memang belum terukur, karena indikatornya belum ditetapkan.
“Di forum COP 16 CBD sedang dibicarakan soal monitoring framework. Ketika bicara soal partisipasi inklusif, dan sudah terlihat tren kegiatan anak muda, seharusnya sektor-sektor lain bisa membantu dan terlibat dalam monitoring penerapan target KM GBF. Selama ini kita tidak memonitor, sehingga pencapaian orang muda Indonesia tidak terhitung. Hasil survei ini menjadi bukti. Jika ada yang bertanya orang muda melakukan apa saja, dari dokumentasi terlihat sudah banyak,” kata Nadia.
Dari survei terlihat bahwa orang muda sangat tertarik pada kegiatan yang nyata, yang seru, dan fun.
“Kalau ikut menanam pohon atau menyelam untuk restorasi terumbu karang, aksinya kan lebih kelihatan, lebih bisa merasakan koneksi dengan alam, sekaligus ngobrol dengan masyarakat sekitar. Having fun itu penting banget buat orang muda. Kalau tidak happy dalam melakukan sesuatu, apa gunanya kita melakukan hal itu?” kata Nadia.
Sebaliknya, mereka kurang menyukai kegiatan yang terkait dengan advokasi, hukum, dan pendanaan.
Karena, istilah advokasi itu sering diasosiasikan dengan kampanye yang terus mendorong agenda mereka, harus marching, dan sebagainya. Nadia menilai, advokasi merupakan hal yang memerlukan kapasitas pemahaman lebih mendalam dan belum umum diberikan kepada orang muda. Untuk melakukan advokasi, diperlukan berbagai keterampilan.
“Tidak semua orang mau advokasi dan mencari pendanaan. Karena, kegiatan tersebut memerlukan akses informasi yang tidak banyak didapatkan oleh orang muda. Beberapa di antaranya terkait dengan privilege. Misalnya, apakah punya koneksi, punya latar belakang pendidikan yang baik untuk memahami hal tersebut,” tutur Nadia, yang mengakui bahwa advokasi bukan hal yang menjadi minatnya, sehingga perlu mencari orang-orang yang berminat dalam hal tersebut.
Dalam pandangan Nadia, melakukan tugas advokasi sangat menantang bagi kesehatan mental. Advokasi tidak untuk semua orang, karena tidak mudah.
“Orang muda harus memahami dahulu apa yang kamu perjuangkan. Apakah perjuangan ini datang dari ego kamu atau kebutuhan ekosistem? Kalau memang kebutuhan ekosistem, ekosistem mana yang kamu perjuangkan. Jadi, memang harus punya kematangan berpikir seperti itu.”
Harus diakui, jika ingin menyelamatkan lingkungan, pasti ada cost yang harus dikeluarkan.
Cost tersebut tidak hanya dalam bentuk finansial, tetapi juga dukungan non finansial. Survei mengungkap, 72% orang muda di ASEAN sudah mendapatkan small grants dan pendanaan. Tapi, ada 24% yang tidak mempunyai pendanaan. Rupanya, mereka belum memahami cara yang tepat untuk mendapatkan dana.
“Padahal, mekanisme finansial penting sekali. Ketika ada dana, berarti ada peluang untuk membuat kegiatan kita jadi lebih sustainable. Bukan hanya satu kali kegiatan, lalu selesai. Di samping itu, ketika pendanaan mencukupi, kita bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak lebih besar,” kata Nadia.
Tag