“Tapi, saya tipe orang yang berpegang teguh pada keputusan saya. Kalau saya sudah memutuskan, maka itulah yang akan saya lakukan. Orang lain boleh berpendapat, tapi sayalah yang memutuskan apa yang terbaik bagi saya. Jadi, apa pun yang dilakukan untuk menghentikan saya, semua itu akan sia-sia. Yang paling penting adalah restu orang tua. Dan, mereka memberikan dukungan luar biasa besar kepada saya,” kata Monik, sangat bangga.
Monik bersyukur karena memiliki ayah yang punya pandangan sangat jauh ke depan dan tidak pernah membatasi geraknya, meskipun pendidikan ayahnya tidak tinggi.
Baginya, sang ayah merupakan pendengar yang baik, partner yang seru untuk diajak berdiskusi, terutama tentang hal-hal ‘gila’ yang ia lakukan. Sementara ibunya menjadi penopang yang paling luar biasa. Sehingga, ketika mendapatkan tantangan besar dari mana pun, Monik tak gentar karena ada orang tua yang selalu mendukungnya.
Adat patriarki yang umumnya diadopsi oleh keluarga di kampungnya tidak dialami oleh Monik.
“Ayah saya selalu bilang bahwa anak-anaknya adalah perempuan-perempuan pemimpin di masa depan. Karena itu, ia tidak akan membatasi gerak mereka. Ketika saya sudah di bangku kuliah dan memikirkan tentang kata-kata tersebut, saya berpikir, wow… beruntung sekali saya punya ayah seperti dia,” kata Monik, yang tak diizinkan lagi masuk hutan oleh ayahnya.
Monik sendiri pernah menjadi ‘anak raja’. Begitulah panggilan terhadap anak kepala desa.
Sebutan yang dipandangnya sebagai tekanan, tapi di sisi lain membuat mereka punya tanggung jawab besar, karena harus menjadi contoh bagi orang lain. Karena itulah, sejak dari rumah Monik sudah dibiasakan untuk menjadi leader.
Suatu ketika tawaran sangat menarik datang pada Monik. Ia dihadapkan pada dua pilihan: uang atau sekolah.
Ia berpikir, dengan uang ia bisa membantu masyarakat adat untuk proses pemetaan wilayah adat. Tapi, uang bisa habis entah dalam satu bulan atau satu tahun. Kalau pilih melanjutkan sekolah, ilmu akan bertahan bersamanya seumur hidup. Inilah yang kemudian membuat dia memutuskan untuk sekolah lagi.
Dari Pemerintah Norwegia, Monik mendapatkan beasiswa untuk belajar di jurusan English Linguistics and Language Acquisition, Norwegian University of Science and Technology.
Ia menilai, pendidikan di Aru masih sangat membutuhkan perhatian dari generasi muda.
“Pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari kegelapan. Saya ingin menjadi salah satu orang yang berkontribusi terhadap dunia pendidikan di Aru. Saya ingin mempelajari bahasa Inggris, khususnya bidang linguistik, dan membawa sesuatu yang baru ke dunia pendidikan di Aru,” kata Monik, yang sangat fasih berbahasa Inggris.

Perempuan yang berprofesi sebagai guru ini datang dari lingkungan yang tidak terbiasa membaca, membedah buku, dan melihat sesuatu dari perspektif berbeda.
Di Indonesia ia juga tidak memiliki teman yang haus akan diskusi.
“Saya harus memacu diri untuk melakukan semua hal tersebut, karena semua orang di sini inginnya melakukan hal seperti itu. Keadaan ini seperti culture shock sekaligus tantangan untuk mendorong diri sendiri agar tidak tinggal di dalam zona nyaman,” kata Monik.
Bekerja keras sudah menjadi bagian dari kehidupan Monik. Ayahnya selalu berpesan, “Jangan pulang sebelum bawa hasil.” Tentu saja hal tersebut menjadi tekanan tersendiri baginya. “Tapi, di sisi lain, saya menyukai tantangan itu,” kata Monik, yang belum pernah pulang kampung selama berkuliah S2. (pra)
Tag