Mengambil sesuai kebutuhan merupakan kearifan lokal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Masyarakat akan berburu hewan dalam skala besar, jika ada acara adat di kampung. Mereka mengadakan kegiatan serupa bakti sosial dengan ramai-ramai berburu, membawa tombak dan busur panah.
Monik bercerita, sekitar 65-70 persen masyarakat adat Aru hidup dari hasil laut dan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Hasil laut di Aru sangat melimpah, mulai dari rumput laut, teripang (ketimun laut), bermacam jenis ikan, udang lobster, hingga kepiting bakau. Selain mengambil hasil laut untuk kelangsungan hidup, mereka juga sekaligus mempertahankan pangan lokal.
“Alam telah menyediakan apa yang kita butuhkan setiap hari. Karena itu, banyak hal yang dilakukan masyarakat Aru untuk menjaga alam. Salah satunya, adanya aturan adat bahwa sebelum menebang pohon untuk membangun rumah, masyarakat harus menanam bibit pohon terlebih dahulu. Jika pohon yang baru itu hidup, barulah mereka boleh menebang pohon,” kata Monik, yang senang membuat aksesori dari bahan-bahan alam, seperti kerang, biji-bijian, dan batu.
Yang paling penting, menurut Monik, adalah bagaimana mereka menjaga tradisi. Dari tradisi, mereka belajar tentang ilmu kehidupan yang diterapkan oleh orang tua dan nenek moyang mereka sejak dulu. Dan, pesan mereka selalu disampaikan lewat tradisi.
Di kampung Monik terdapat banyak ritual adat. Setiap kali akan melakukan ritual, masyarakat diingatkan bahwa tanah ini adalah perut ibu.
“Dalam bahasa Aru Selatan kami menyebutnya jina tubir. Tanah kami adalah perut ibu, yang mengandung dan melahirkan generasi hebat, yang mampu untuk menjaga tanah itu sendiri dengan pemikiran dan akal sehat. Seperti seorang ibu, tanah ini adalah provider yang memberi segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Itu berarti kita harus menjaga tanah ini sama seperti menjaga mama kami sendiri," jelasnya.
Monik berasal di sebuah kampung kecil bernama Fatlabata, bersama orang tua yang percaya bahwa adat sudah ada bahkan sebelum manusia punya agama, bahkan sebelum negara dibentuk.
Terlepas dari kehidupan modern yang ia jalani, adat selalu menjadi pegangan utama. Inilah kenapa ia memperjuangkannya. Ia tidak mau generasi di bawahnya hanya mendengar cerita, tanpa melihat kenyataan. Cerita tanpa bukti, menurutnya, merupakan sesuatu yang tidak valid.
Sebuah pertanyaan selalu ia tanyakan pada dirinya sendiri.
“Sebagai perempuan yang melabeli dirinya perempuan adat, dan dengan bangga menyebut bahwa saya adalah perempuan adat, apa yang bisa membuktikan dirimu sebagai perempuan adat? Saya tumbuh besar tanpa pernah melupakan adat. Berjuang untuk masyarakat adat bukan sesuatu yang ia sesali, karena perjuangan itu menyangkut kehidupan banyak orang, menyangkut rumah tempat kami tinggal,” kata Monik.

Ayahnya pernah bergerak bersama 117 kepala kampung lain dalam gerakan #SaveAru untuk menyelamatkan Aru dari rencana menghancurkan hutan dan merampas tanah masyarakat adat.
Apa yang dilakukan ayahnya benar-benar memotivasi putri sulungnya. Menurut Monik, ayahnya tidak berpendidikan tinggi. Tapi, pemikirannya bagus bahwa alam merupakan provider utama.
Begitulah yang diajarkan oleh leluhurnya. Maka, saya punya tanggung jawab untuk menyadarkan generasi saya.”
Ayah Monik selalu mengatakan, “Ketika kau bicara tentang Aru, dan kau berbicara yang benar tentang Aru, dan kau memperjuangkan hak-hak banyak orang, hak-hak masyarakat adat, kau tidak akan pernah mati sia-sia di tanah ini.” Kalimat pendek itu benar-benar membakar semangat Monik.
Tantangan terbesar dari perjuangan Monik adalah tekanan sosial. Menurutnya, orang selalu underestimate, bahwa orang yang peduli lingkungan dan melakukan hal-hal yang tidak dibayar adalah useless. Mereka berpikir, kenapa seseorang dengan pendidikan yang bagus mau melakukan hal tersebut.
Tag