Bumbu pun bisa didapatkan dari hutan, termasuk garam. Di Kampung Malawele, Kabupaten Sorong, ada Sinagi Papua yang memproduksi bumbu asin atau garam hutan dari pohon nipah.
Bumbu ini merupakan warisan leluhur Suku Moi. Mereka membakar pelepah nipah sampai menjadi abu kehitaman, yang disebut garam nipah.
“Tapi, untuk keperluan komersial, tampilannya dipercantik. Abu hitam itu disaring, dimasak, hingga berubah warna menjadi putih. Teh pun bisa mereka buat dari kayu hutan kamlowele,” kata Rifqy, yang melihat hubungan antara hutan dan manusia di Papua sangat personal.
Di Kalimantan, masyarakat Kampung Merabu menganggap bahwa kampung mereka merupakan kampung terakhir di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang masih menjaga hutan dan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Sementara kampung tetangga sudah disesaki oleh perkebunan kelapa sawit.
“Koneksi antara mereka dan hutan, termasuk orang mudanya, sangat baik. Mereka menganggap keberadaan hutan memainkan peranan sangat penting. Mereka masih bisa bermain di hutan, mencari hasil hutan, seperti madu hutan, juga berburu kijang dan babi hutan. Suku Dayak Lebo yang tinggal di Kampung Merabu dikenal sebagai suku peramu obat tradisional, yang bahannya didapat dari hutan.”

Rifqy bercerita, hidup masyarakat Desa Batu Songgan di Riau sangat bergantung pada hutan dan sungai dengan pemanfaatan yang terbatas. Untuk menjaga ekosistem dua kawasan tersebut, mereka mempunyai aturan adat, yaitu hutan larangan dan lubuk larangan.
“Saat hutan larangan diberlakukan, selama beberapa waktu, masyarakat tidak boleh mengakses suatu kawasan hutan tertentu. Ketika area itu dibuka kembali, barulah mereka bisa memanen hasil hutan bersama-sama.”
Hal serupa diberlakukan di area Sungai Subayang. Sungai tersebut diberi pembatas jaring yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun.
Aturan ini diterapkan untuk menjaga ikan kecil, sehingga mereka bisa terus bertumbuh. Saat panen raya, kepala kampung akan membuka larangan tersebut dengan upacara adat, dan masyarakat boleh mengambil hasil sungai.
Menariknya, Suku Moi juga mempunyai aturan serupa. Namanya egek.
“Tradisi egek membatasi akses masyarakat untuk masuk kawasan hutan. Di dalam hutan terdapat sejumlah situs bersejarah dan pohon keramat. Untuk ekowisata, jalurnya dibuat di luar jalur-jalur egek. Egek di hutan akan dibuka saat waktunya tiba. Ketika itu, masyarakat boleh memanen hasil hutan,” kata Rifqy.
Egek juga diterapkan di laut. Para kepala kampung menentukan satu kawasan khusus di laut yang tidak boleh diakses oleh masyarakat.
Selama egek diberlakukan, ada tiga hasil laut yang tidak boleh diambil, yaitu lobster, lola (kerang laut), dan teripang. Hasil laut lain, seperti berbagai macam ikan, tetap boleh diambil untuk kebutuhan sehari-hari.
“Egek dibuka dengan Festival Egek, yang biasanya diadakan setahun sekali. Saat itu, masyarakat akan memanen hasil laut beramai-ramai dan menjualnya kepada pengunjung. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk keperluan gereja atau biaya sekolah anak-anak di kampung tersebut,” cerita Rifqy, yang selama ekspedisi sering kali menginap di rumah atau homestay penduduk.
Dalam perjalanannya yang sangat seru, TelusuRI bertemu sejumlah tokoh inspiratif dan menemukan fakta yang mencengangkan. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu, Desa Brenggolo di Wonogori, Jawa Tengah, dikenal sebagai daerah yang gersang, kering, dan mudah mengalami longsor.
