Feature

Menyusuri Nusantara, Menggali Cerita Tentang Harapan yang Tersimpan di Hutan

Rabu, 11 Desember 2024 4:5

KAMPUNG MERABU - Seorang pemandu lokal menyorot cahaya senter ke lukisan tangan purba di dinding Gua Bloyot (Foto oleh Deta Widyananda)

ARUSBAWAH.CO - Di tengah perubahan iklim yang sedang terjadi, di antara gempuran berita tentang eksploitasi hutan, rupanya masih banyak cerita manis tentang keharmonisan antara alam dan manusia.

Ternyata masih banyak orang yang peduli pada hutan dan menjaganya mati-matian.

Begitulah yang ditemukan oleh TelusuRI, salah satu media perjalanan dan pariwisata Indonesia, saat menjalani ekspedisi Arah Singgah pada 2023–2024.

Tim yang terdiri dari Mauren Fitri, Rifqy Faiza Rahman, dan Deta Widyananda ini menyusuri hutan di 10 kabupaten yang berlokasi di 6 provinsi, yaitu Jawa Tengah, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Papua Barat Daya, dan Papua.

Mereka bertemu dan berdiskusi dengan masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya pada hutan.

Rifqy melihat, dunia kerja bukan hanya untuk yang berseragam. Kita bisa menciptakan pekerjaan dari hutan di sekitar kita, apalagi dibekali dengan warisan yang masih bertahan.

Dalam perjalanannya yang panjang, ia bertemu banyak orang yang mampu melihat kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik.

“Dengan begitu, ada manfaat ekonomi yang bisa dipetik tanpa harus merusak lingkungan. Ketika mereka mengambil dari alam, mereka mampu memulihkannya kembali. Ini bukan pekerjaan yang mudah.”

Bagi masyarakat Papua, istilah hutan adalah ibu bukan sekadar ungkapan tanpa makna.

Mereka benar-benar menganggap bahwa hutan adalah mama, sumber penghidupan, yang akan memberikan apapun demi kelangsungan hidup mereka.

Sebagai contoh, masyarakat Papua tidak memiliki kebun khusus untuk menanam sagu. Apa yang diberikan Tuhan di hutan, itulah yang mereka manfaatkan.

Kepala Kampung Bariat, Sorong Selatan, bercerita kepada TelusuRI, jika memanen padi, mereka harus tunggu empat bulan.

Sedangkan untuk mendapatkan sagu, mereka bisa mencari begitu saja di hutan. Begitu berlimpah persediaan sagu di kampung tersebut. Tak mengherankan, jika Sorong Selatan menjadi salah satu kabupaten dengan cadangan sagu terbesar di Papua Barat Daya.

“Kami mengamati cara mereka mengolah sagu dari hulu sampai ke hilir. Satu pohon sagu ditebang dan diolah bersama-sama. Ada pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Hasil olahan berupa tepung sagu bisa dikonsumsi oleh banyak orang dalam satu kampung selama berhari-hari,” kata Rifqy.

KAMPUNG BARIAT - Mama-mama subsuku Afsya Kampung Bariat gotong royong meremas sagu di hutan (Foto oleh Deta Widyananda)

Dan, mereka bijak dalam mengambil. Tidak menebang habis pohon sagu, mereka hanya mengambil secukupnya, dan menyisakan tunas untuk bisa bertumbuh lagi.

“Kepercayaan bahwa hutan adalah ibu benar-benar mengakar kuat di Sorong. Pengetahuan dan praktik tentang hutan diwariskan turun-temurun. Beberapa tempat keramat ditandai secara khusus untuk melindungi pohon sagu.”

Tag

MORE