Sementara pelaku oligarki politik tidak dapat berbuat apapun karena sudah menjadi komitmen bersama. Selain itu, untuk menjaga konsistensi kekuasaan politiknya maka sulit untuk melepaskan diri dari ketergantung terhadap pemegang kekuasaan ekonomi.
Polemik akan muncul apabila elit politik berlatar berlatar belakang pengusaha, namun menjalankan fungsinya sebagai Pejabat Negara khususnya di lingkungan legeslatif, maka peran pengusaha dan penguasa berada dalam satu individu bersangkutan.
Selain itu, bagaimana seandainya banyak elit politik kita berperan sebagai pengusaha – penguasa seperti disinggung diatas maka akan berpeluang menimbulkan conflict interest dalam tatanan penyelenggaraan urusan negara.
Hal ini adalah versi lain dari oligarki kekuasaan, dimana untuk mempertahankan usahanya sebagai pengusaha, maka peran sebagai penguasa (“penyelenggara negara”) akan menjadi tidak efektif, seperti hak pengawasan sebagai anggota legeslatif terhadap Pemerintah.
Atau sebaliknya, hak pengawasan difungsikan secara berlebihan guna mengamankan usahanya tidak disentuh, meskipun terdapat celah penyimpangan.
Kedua bentuk oligarki kekuasaan di atas pada prinsipnya memiliki kesamaan tujuan, yaitu bermotif rent seeking. Motif untuk mendapatkan manfaat {‘keuntungan”) optimal dengan cara mendekat pada pusat kekuasaan.
Implikasinya tentu dirasakan oleh penduduk, seperti kenaikan harga yang dibiarkan menemukan equilibrium sendiri tanpa adanya intervensi signifikan dari Pemerintah, termasuk produk asal China yang sudah membanjiri pasar di Indonesia, dengan alasan harganya relatif murah dibanding produk sama yang dihasilkan pelaku ekonomi dalam negeri, sehingga banyak usaha yang telah gulung tikar.
Masih banyak contoh lainnya yang sudah diketahui bersama.
Runtuhnya Orde Lama karena peran mahasiswa, demikian pula transisi perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tidak terlepas dari kepeloporan mahasiswa dalam menjaga demokrasi Indonesia.
Dan terakhir di bulan Agustus 2024 ini, mahasiswa kembali tampil untuk menyelematkan demiokrasi Indonesia karena salah satu pilar demokrasi, yaitu konstitusi; dengan mudahnya disesuaikan untuk kepentingan sepihak, termasuk mengaburkan identitas lembaga negara yang seharusnya menjadi benteng akhir penegakan konstitusi/hukum.
Idealisme mahasiswa dan pemikiran para Guru Besar Perguruan Tinggi (pakar multi disiplin keilmuan) melahirkan gerakan demontrasi damai di seluruh Indonesia, dengan tujuan menjaga supremasi konstitusi/hukum tidak lagi menjadi alat melanggengkan kekuasaan dan politik dinasti, karena apabila tetap dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kehidupan demokrasi Indonesia ke depannya.
Praktis demokrasi ekonomi akan terpuruk pula, hanya sekedar teks book yang tidak pernah terimplementasikan sebagai suatu sistem ekonomi khas Indonesia kelak di kemudian hari.
Sistem ekonomi dimaksud oleh alm. Prof. Mubyarto disebut sebagai Ekonomi Pancasila. Para pengejar rent seeking tidak berorientasi pada sistem ekonomi Indonesia berbasis koperasi sebagai soko guru.
Apalagi mengimplementasikan pasal 33 UUD 1945, dimana kekayaan alam Indonesia harus dikuasai Negara dan dimanfaatkan secara bijak untuk kesejahteraan penduduk.
Orientasi para rent seeking adalah keuntungan (profit) maksimal dan pasar yang sudah dikondisikan (captive market), sehingga pembentukan harga bukan ditentukan oleh kekuatan pasar, yaitu keseimbangan antara penawaran dan permintaan secara murni, akan tetapi ditentukan secara price administrated melalui penetapan ambang batas atas dan bawah.
Sebagai contoh, tiket pesawat udara di Indonesia termasuk mahal di kalangan industri penerbangan meskipun di regional negara-negara ASEAN. Padahal maskapai penerbangan bersangkutan mengklaim diri sebagai low cost carrier.
Demikian pula hilirasasi industri ekstraktif berupa pengolahan nilai tambah komoditi nikel, lebih didominasi pengusaha asal China, dengan membawa teknologi yang belum sepenuhnya ramah lingkungan, serta mendatangkan tenaga kerja dari China sendiri karena dianggap produktifitasnya lebih baik dari tenaga kerja lokal.
Kita tidak boleh memiliki sikap a priori terhadap masuknya investasi asing, selama itu dilakukan dengan prinsip win-win soluition dan azas manfaatnya dirasakan oleh penduduk Indonesia secara langsung, bukan sebagai penonton.
Untuk mengurangi rent seeking atau bahkan menghapuskannya maka oligarki kekuasaan harus disterilkan dari pengaruh oligarkhi ekonomi yang hanya mementingkan kelompoknya.
Ini bukan perkara mudah, namun selama masih ada kekuatan penyeimbang yang selalu menyuarakan penegakan demokrasi serta menjadikan konstitusi sebagai pilar demokrasi, dan disisi lainnya para elit politik konsisten tidak melakukan intervensi terstruktur dan sistematis terhadap lembaga negara yang berperan sebagai penegak konstitusi/hukum, maka ini merupakan langkah positif ke arah keinginan kita bersama menjadikan demokrasi tidak dikuasai oilgarkhi kekuasaan.
Salah satu kekuatan penyeimbang dimaksud adalah para mahasiswa, mereka melihat segala sesuatu berdasarkan prinsip apa yang seharusnya terjadi (das sein) sejalan dengan kenyataannya (das sollen).
Cara berpikir seperti ini menunjukan bahwa para mahasiswa masih memiliki idealisme murni.
Ditulis oleh Diddy Rusdiansyah Anan Dani
**) Tulisan ini terinspirasi dari maraknya pendapat pro dan kontra dari Keputusan MK yang sedikit banyak-nya sudah merubah konstalasi panggung politik mejelang Pilkada, terutama fenomena calon tunggal pasangan Kepala Daerah.
Tag