Feature

"Kami Hanya Mencari Uang": Jeritan Pedagang Pasar Subuh yang Lapak Jualannya Dibongkar Hari Ini

Jumat, 9 Mei 2025 16:59

PEDAGANG - Bu Ida, salah satu pedagang Pasar Subuh Samarinda/Arusbawah.co

ARUSBAWAH.CO -  Pukul lima hingga tujuh pagi, aroma sayur segar, aneka daging, dan buah-buahan lokal masih sempat tercium di Pasar Subuh, Jalan Yos Sudarso, RT 02 Kelurahan Karang Mumus, Kota Samarinda.

Namun kini, suara tawar-menawar antara pedagang dan pembeli itu telah hilang.

Lapak-lapak yang berdiri selama puluhan tahun itu hanya tinggal puing-puing.

Lapak pedagang di Pasar Subuh, yang telah berusia lebih dari 50 tahun, dibongkar, digusur paksa oleh aparat Satpol PP Samarinda

Para pedagang menangis menyaksikan tempat mereka menggantungkan hidup dihancurkan tanpa kompromi dan tanpa ruang untuk mediasi.

“Saya sedih banget kalau dibilang perasaan. Sedih, hancur, berkeping-keping. Seolah-olah tidak ada harapan. Karena apa? Karena penghasilan kami ini di sini. Nyata penghasilan kami di sini. Kenapa kami harus dipindah paksa tanpa adanya kompromi?” kata Farida (50), salah satu penjual sayur yang sudah berjualan di sana lebih dari 25 tahun ditemui redaksi Arusbawah.co

Lapak-lapak kecil yang rapi sejak dini hari hingga pukul sembilan pagi itu bukan sekadar tempat jual beli.

Pasar Subuh Samarinda adalah nadi kehidupan bagi puluhan pedagang yang menggantungkan harapan dari hasil berjualan.

Farida tak mampu menahan tangis air mata saat menyaksikan pembongkaran lapak-lapak itu.

Ia menilai tindakan petugas arogan, tanpa empati, dan tanpa dialog yang adil.

Farida menyebut tindakan itu sebagai bentuk penindasan terhadap rakyat kecil yang tak mampu bersuara lantang.

“Dengan kasarnya mereka, para aparat polisi dan Satpol PP, membongkar lapak kami. Kalau kami harus dipindahkan, sangat sedih sekali. Saya nangis nggak berhenti. Kejam sekali mereka,” ujarnya dengan mata sembab.

Lokasi relokasi yang disiapkan Pemerintah Kota Samarinda disebut tidak memadai dan tidak sesuai dengan kebutuhan para pedagang.

Mereka menyebut tempat yang disediakan sepi pembeli, rawan banjir, dan jauh dari komunitas pelanggan yang telah terbentuk selama lima dekade.

Para pedagang merasa seolah dilempar ke ruang hampa, di mana harapan nyaris tidak ada.

“Sedangkan keperluan kami bersama teman-teman banyak sekali. Ada yang sekolahkan anak, ada yang kuliahkan anak, ada yang kredit rumah belum selesai, ada cicilan yang lain-lain. Bagaimana kami bisa membayar?” tanya Farida sambil terisak.

PEMBONGKARAN - Potret saat terjadinya pembongkaran Pasar Subuh di Samarinda/ Irwan Arusbawah.co

 

Pasar Subuh dinilai bukan hanya ruang ekonomi, tapi juga bentuk komunitas sosial.

Mereka memiliki paguyuban arisan yang telah berjalan lama dan menjadi tumpuan solidaritas antar pedagang.

Dalam seminggu, arisan itu bisa mengumpulkan lebih dari Rp23 juta. Kini, semua itu terancam bubar.

“Andai kata ada mediasi, kami cuma pengen paling enggak ditunda sampai selesai kami punya arisan. Itu saja. Kami nggak akan menolak. Yang penting jelas,” kata Farida.

Menurut para pedagang, Pasar Subuh bukanlah pasar ilegal.

Mereka tidak menempati lahan secara gratis.

Setiap per tiga bulan, mereka membayar Rp1 juta kepada pemilik tanah, meski tidak pernah diminta.

Namun, meski para pedagang sudah bersikap tertib dan sadar diri, mereka tetap digusur paksa.

Pasar Subuh juga memiliki sejarah panjang yang tidak dimiliki pasar tradisional lain.

Awalnya dikenal sebagai Pasar Babi pada era 1960-an karena menjual aneka daging khas seperti daging anjing, babi, katak, hingga ular, yang menjadi kebutuhan komunitas Tionghoa.

Pada tahun 1978, para pedagang mulai menempati lokasi saat ini, yang kini telah digusur oleh pemerintah Kota Tepian.

“Saya generasi kedua. Saya hanya meneruskan usaha orang tua. Ini bukan cuma tempat dagang, ini warisan budaya, tradisi. Saat Imlek, orang luar negeri datang ke sini cari bahan. Ini pasar khas,” ujarnya.

Mulai dari daging anjing, katak, hingga ular, pasar Subuh menawarkan produk yang tak ditemukan di pasar lain di Kota Tepian ini.

Karena itu, pelanggan loyal terutama dari komunitas Tionghoa tetap datang meski harga sedikit lebih mahal.

Kini, semua itu terancam hilang begitu saja.

“Kalau digusur, keunikannya hilang. Di pasar baru tidak ada seperti ini. Mereka datang ke sini karena tahu dari generasi ke generasi. Ini bukan pasar biasa,” tambahnya.

Farida menilai Pemerintah Kota Samarinda tidak adil dalam menangani persoalan ini.

Para pedagang merasa ditindas oleh kekuasaan yang tak peduli dengan realitas ekonomi mereka.

Pemerintah dinilai hanya fokus pada penertiban tanpa solusi yang layak.

“Kok seperti ini? Kami hanya minta ditunda sampai selesai arisan. Kalau kami digusur, tolong carikan tempat dekat sini. Karena pembelinya orang sekitar sini,” pinta Bu Farida.

Perempuan itu mengaku, penghasilannya hanya berasal dari berjualan di Pasar Subuh, begitu juga dengan suaminya.

Mereka bekerja berdua di satu lapak yang sama, untuk satu anak, yang biaya hidupnya seakan membiayai lima anak.

“Kami cuma mau tetap bisa hidup, tetap bisa jualan untuk biaya hidup kami dan anak kami,” katanya.

Para pedagang bahkan sadar, mereka bukanlah pedagang kaki lima liar yang menempati trotoar jalan.

Mereka ditata oleh pemerintah, diberi taplak khas Kalimantan, bahkan diakui oleh kelurahan Karang Mumus sejak tahun 2009.

Namun kini, semua itu seakan dilupakan. Mereka menilai tidak ada ruang musyawarah, hanya penggusuran paksa yang menyisakan luka.

“Kami hanya bisa berdoa. Semoga Allah memberikan rezeki berlimpah. Kami pasrah. Tapi rasa sakit ini akan kami ingat. Mereka menggusur kami tanpa rasa bersalah. Kami ini rakyat kecil. Kami ini manusia juga,” tutupnya penuh harapan.

Melansir pemberitaan Tribunkaltim.co, Pemkot melalui Dinas Perdagangan Samarindamenegaskan bahwa relokasi pedagang Pasar Subuh bukanlah kebijakan yang muncul tiba-tiba.

Langkah ini merupakan bagian dari proses panjang yang sudah dirintis sejak lebih dari 20 tahun lalu.

Kepala Dinas Perdagangan Samarinda, Nurrahmani—yang akrab disapa Yama—mengungkapkan bahwa penataan kawasan pasar tersebut telah melewati sejumlah tahapan penting. Salah satunya adalah permohonan dari pemilik lahan kepada pemerintah untuk merelokasi para pedagang, yang pertama kali diajukan sejak tahun 2014.

“Awalnya, lahan tempat pasar itu memang dibangun oleh pemiliknya sendiri. Permasalahan ini sudah berlangsung lama. Pada tahun 2014, pemilik lahan sempat mengajukan permohonan kepada Wali Kota agar pasar direlokasi," ujarnya. 

(Irwan)

Ads Arusbawah.co

 

Tag

MORE