Ia menilai, Pasar Subuh telah beroperasi selama puluhan tahun dan dikenal sebagai sentra kebutuhan khusus, terutama produk konsumsi non-halal.
Masyarakat Samarinda juga ia rasa sudah lama mengenal pasar itu sebagai ruang jual-beli yang tertib dan memiliki kekhasan tersendiri.
“Kalau bicara penataan, kami setuju. Tapi jangan digusur. Harusnya dibina, bukan dipindah secara paksa,” kata seorang pedagang dalam aksi tersebut.
Isu relokasi muncul setelah adanya rencana pengembangan kawasan wisata China Town di Samarinda.
Proyek itu disebut-sebut menjadi latar belakang relokasi Pasar Subuh, meskipun para pedagang membantah adanya keterkaitan langsung antara lokasi proyek dan pasar mereka.
“Itu proyek di tempat lain. Kenapa kami yang dikorbankan?” ujar Abdus Salam.
Kekhawatiran pedagang bertambah setelah muncul kabar bahwa proses relokasi pada 4 Mei 2025 mendatang akan melibatkan aparat TNI, Polri, dan Satpol PP.
Mereka menilai langkah itu bersifat represif dan merendahkan martabat warga.
“Kami bukan kriminal. Kami warga negara yang sedang mencari nafkah di tanah sendiri,” katanya.
Dalam aksi itu, Paguyuban Pasar Subuh menyampaikan 5 tuntutan:
1. Menolak tegas rencana relokasi Pasar Subuh yang dinilai tidak memiliki dasar hukum jelas serta mengabaikan aspek sosial dan ekonomi masyarakat.
2. Berkomitmen mempertahankan Pasar Subuh sebagai bagian dari komunitas sosial Samarinda yang mendukung interaksi warga dan perekonomian lokal.
Tag