Potret yang ditunjukkan Monika menggarisbawahi peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan dan keanekaragaman hayati yang harus didukung Pemerintah. Sayangnya, kebijakan terkait perlindungan dan pengelolaan biodiversitas oleh masyarakat ada belum dapat memberikan dampak pada masyarakat adat.
“Dua landasan kebijakan di Indonesia untuk melindungi keanekaragaman hayati ini, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 2023 dan UU Nomor 32 Tahun 2024, belum memenuhi kebutuhan dan hak-hak masyarakat adat. Instruksi Presiden kurang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga sejatinya bentuk aturan yang lebih baik adalah Peraturan Presiden,” ujar Bimantara, peneliti dari Perkumpulan HuMa.
“Ke depan, juga perlu dipertimbangkan revisi terhadap regulasi ini untuk menyesuaikan dengan struktur dan penanggungjawab terhadap kebijakan biodiversitas ini pasca pemerintahan baru,” tambahnya.
Selain berperan penting dalam menjaga biodiversitas, Masyarakat Adat juga merupakan kelompok rentan yang terdampak langsung oleh perubahan iklim.
“Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait biodiversitas seperti IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) dan rencana iklim seperti NDC (Nationally Determined Contribution) harus menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat," ujar Salma Zakiyah, Program Officer Hutan dan Iklim MADANI Berkelanjutan.
Catatan sejarah sudah sangat jelas memperlihatkan bahwa yang selama ini melindungi keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru adalah komunitas-komunitas masyarakat adat di sana.
Jadi sudah sewajarnya kontribusi masyarakat adat terhadap perlindungan keanekaragaman hayati di wilayahnya diakui secara penuh.
“Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengakui keberadaan masyarakat adat dan kontribusinya terhadap perlindungan sumber daya alam,” Pungkas Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia. (pra)
Tag