Selain itu, Rustam juga mempertanyakan sumber citra satelit yang dipakai Auriga.
Di pemerintahan, kata dia, data diambil dari citra Landsat yang diawasi rutin tiap tahun, lengkap dengan klasifikasi hutan primer, sekunder, hingga lahan basah.
"Kalau pakai citra satelit lebih detail, memang bisa beda hasilnya. Tapi harus dibandingkan definisi dan metodologinya juga," tambah Rustam.
Rustam mengakui bahwa di Kaltim memang ada ancaman serius terhadap pembukaan hutan.
Tapi menurut data resmi, Kaltim tidak selalu menjadi provinsi dengan deforestasi tertinggi dalam hal luasan absolut.
"Kalau persentase mungkin lebih tinggi, karena 50 persen wilayah Kaltim itu kawasan hutan. Tapi kalau luas absolut, masih banyak provinsi lain yang lebih parah," bebernya.
Terkait sektor penyumbang terbesar deforestasi, Rustam menjelaskan bahwa di Kaltim, ekspansi sawit memang masih menjadi ancaman utama.
Bahkan, pengendalian ekspansi sawit sudah masuk dalam program pengurangan deforestasi berbasis iklim seperti Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF).
"Yang paling luas itu sawit. Itu yang berusaha dikendalikan lewat program FCPF, supaya jangan makin banyak hutan hilang karena kebun," kata Rustam.
Sementara untuk tambang, meski luas pembukaan lahannya lebih kecil, daya rusaknya jauh lebih parah.
Rustam menilai bahwa tambang benar-benar menghancurkan ekosistem secara permanen.
"Kalau tambang, itu daya rusaknya luar biasa. Menghilangkan aneka ragam hayati, tidak seperti sawit yang masih bisa hijau," ungkapnya.
Saat ditanya soal konsensi perluasan kawasan hutan di Kaltim, Rustam mengakui ekspansi sawit dan tambang tetap jadi ancaman serius, meski regulasi tata ruang sudah berusaha mengendalikan.
"Invasinya itu yang sulit. Kadang masyarakat atau perusahaan masuk ke kawasan hutan secara ilegal. Karena sawit punya potensi ekonomi besar," pungkasnya.
(wan)

Tag