Arus Terkini

Keterangan Ahli di Sidang Terkait Pilkada Kukar, Herdiansyah Hamzah Beri Poin soal Pelantikan dan PKPU Harus Ditaati 

Sabtu, 19 Oktober 2024 4:13

Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda/ Foto: jurnalrepublika

ARUSBAWAH.CO - Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menjadi saksi ahli dalam sidang terkait sengketa Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) yang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PT TUN) Banjarmasin.

Dalam perkara ini, KPU Kukar sebagai pihak tergugat, sementara pihak penggugat adalah pasangan calon nomor urut 3 di Pilkada Kukar, Dendi Suryadi- Alif Turiadi.

Adapun untuk objek gugatannya adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kukar Nomor 1131 Tahun 2024 tertanggal 22 September 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kartanegara.

Detailnya pada nama Edi Damansyah dan Rendi Solihin.

Pihak dari Dendi-Alif menilai keputusan KPU Kukar itu cacat administrasi.

Edi Damansyah yang lolos pencalonan dalam keputusan KPU dinilai tak memenuhi syarat karena telah dua kali menjabat dalam jabatan yang sama sebagai Bupati Kukar.

Untuk menghindari miss informasi, keterangan ahli Herdiansyah Hamzah akan kami tampilkan lengkap.

Berikut keterangan lengkapnya:

Masa jabatan seorang kepala daerah, mulai dihitung sejak saat “pelantikan”. Hal ini disebutkan secara eksplisit, setidaknya dalam 2 norma hukum, yakni : Pertama, ketentuan Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), yang menyebutkan bahwa, “Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. Kedua, ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa, “Masa jabatan kepala daerah adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Oleh karena itu, sebelum kepala daerah memangku jabatannya, terlebih dahulu harus dilantik dan diambil sumpah/janji. Persoalan kemudian muncul kembali dalam hal pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dimana dalam ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Pencalonan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota (PKPU Nomor 8 Tahun 2024), dimana perhitungan periode masa jabatan dimulai sejak saat pelantikan. Dalam ketentuan Pasal 19 huruf e PKPU Nomor 8 tahun 2024, menyebutkan secara eksplisit bahwa, “penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan”.

Bagaimana sesungguhnya tafsir norma tersebut? Apakah frase “pelantikan” itu bermakna hitungan masa jabatan hanya berlaku terhadap jabatan-jabatan yang melalui proses pelantikan? Dan apakah jabatan-jabatan yang hanya melalui proses “pengukuhan”, tidak termasuk dalam periodesasi atau perhitungan masa jabatan? Keterangan ini hendak menjawab pertanyaan ini.

Ada 2 pertanyaan yang mesti dijawab untuk melekatkan konteks terhadap pelantikan kepala daerah ini. Pertama, apa makna pelantikan bagi kepala daerah? Dan Kedua, apa akibat hukum dari pelantikan kepala daerah ini? Kita bahas mengenai makna pelantikan terlebih dahulu agar kita semua punya kesamaan pandangan terhadapnya. Secara etimologi, pelantikan dipahami sebagai proses, cara, perbuatan melantik . Dimana melantik sendiri didefinisikan sebagai perbuatan untuk mengangkat (biasanya dengan mengucapkan sumpah dalam sebuah upacara); meresmikan .

Tag

MORE