Hal ini ditegaskan dalam ratio decidendi putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, yang menegaskan bahwa, “……Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak” . Hal ini diperkuat kembali dalam ratio decidendi Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut, “……Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak” . Berdasarkan hal tersebut, tafsir MK berkaitan dengan dimulainya masa jabatan kepala daerah, dihitung sejak saat pelantikan.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) memang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Namun demikian, PKPU dikualifikasikan sebagai jenis peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3, yang menyebutkan bahwa, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
Frase “badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang” dalam ketentuan a quo, memberikan legitimasi dan kekuata hukum terhadap PKPU sebagai salah satu jenis produk perundang-undangan.
Untuk mendapatkan daya ikat, maka peraturan perundang-undangan harus berdasarkan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibuat berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU P3 yang menyatakan bahwa, “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
Pertanyaannya adalah, kekuataan hukum mengingat PKPU datang darimana? Tidak mungking turun begitu saja dari langit. PKPU dibentuk berdasarkan keduanya sekaligus, baik berdasarkan perintah peraturan yang lebih tinggi maupun berdasarkan kewenangannya.
Pertama, jika ditinjau dari segi kewenangannya, KPU merupakan lembaga yang diberikan tanggung jawab penuh dalam bentuk tugas dan kewenangan dalam penyelenggaraan, baik pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) .
Dan salah satu kewenangan tersebut berwujud dalam bentuk pembuatan PKPU dalam rangka memperlancar proses penyelenggaraan pemilihan. Dalam konteks penyelenggaraan Pilkada, kewenangan ini diatur dalam ketentuan Pasal 9 huruf a UU Pilkada, yang menyebutkan bahwa, “tugas dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilihan, salah satunya untuk
menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat”.
Kedua, jika dilihat berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terdapat beberapa ketentuan dalam UU Pilkada yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut melalui PKPU. UU Pilkada mendelegasikan kepada KPU untuk membuat peraturan lebih lanjut berkaitan dengan aspek tertentu dalam penyelenggaraan Pilkada.
Namun jangan lupa, KPU juga berkewajiban menyesuaikan akibat-akibat hukum yang lahir dari putusan pengadilan, terutama yang lahir dari pengujian peraturan perundang-undangan baik di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun di Mahkamah Agung (MA). Hal ini lebih khusus putusan MK yang menguji norma dalam UU Pilkada sebagai aturan payung dari PKPU. Putusan MK wajib untuk diintegrasikan ke dalam PKPU. Bukan hanya karena putusan MK bersifat mengikat, tapi juga karena PKPU sendiri merupakan peraturan pelaksana dari UU Pilkada sehingga wajib memberikan “kepastian hukum” dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada.
Dalam hukum administrasi negara, sifat dan tujuan PKPU adalah mengoperasionalkan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Jadi konteks negara dalam keadaan bergerak, diinternalisasi oleh peraturan KPU. Secara teoritik, jika Hukum Tata Negara mengkaji negara dalam keadaan diam atau staat in rust, maka Hukum Administrasi Negara mengkaji negara dalam keadaan bergerak atau staat in beweging.
Kapasitas PKPU, adalah merespon putusan MK agar Pemilu dan Pilkada dapat diselenggarakan sebagaimana yang diperintahkan peraturan perundang-undangan. PKPU menerjemahkan bagaimana tata kelola Pemilu dan Pilkada bisa terus dijalankan. (pra)
Tag