SAMARINDA, Arusbawah.co - Banjir lumpur dan serpihan batu bara masuk hingga kerumah warga di Muang Dalam, Samarinda, pada 3 September 2021 silam. Seminggu setelahnya, banjir kembali datang.
Didaerah ini memang rutin diterjang banjir beberapa tahun terakhir, setelah dirambah aktifitas tambang batubara ilegal sejak 2016. Akibatnya, area yang pernah jadi lumbung padi, perlahan rusak. Sumber air bersih juga menipis.
"Sebagian warga beralih ke Peternakan. Tapi untuk mencari bahan makanan ternak juga susah, banyak lokasi terbuka menjadi area tambang,"kata Soleh Arifin, pemuda Muang Dalam pada Selasa, (26/10/2021) dalam agenda diskusi oleh Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).
Keresahan warga Muang membuncah pada 25 September, mereka langsung menghadang 15 truk yang hendak hauling. Seminggu setelahnya para pelaku tambang minta negosiasi, terjadi beberapa kali. Namun warga kekeuh menolak. Ramai-ramai membuat petisi baik secara tertulis maupun menggunakan baliho.
Setelah kejadian tersebut, warga kerap mendapat intimidasi dari komplotan penambang. Warga dibuat resah dengan orang - orang tak dikenal mengawal aktifitas tambang.
"Kita sempat komunikasi dengan Babinsa, Polsek, agar ada pengamanan tapi tidak direspon. Puncaknya itu tanggal 14 Oktober, Kita datang ke Polsek membuat laporan tetapi kami diarahkan ke Polres, akhirnya sampai di Polres sekitar jam 12 malam, baru buat laporan,"papar Soleh.
Lab Pertanian Universitas Mulawarman Ikut Dijarah

Kegiatan Penambangan tanpa izin (PETI) memang tak mengenal batas. Selain lahan milik warga, Kebun percobaan atau laboratorium para Mahasiswa Pertanian Universitas Mulawarman (Unmul) yang berada di Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, juga digasak.
Aktifitas keruk mengeruk emas hitam disekitar Kebun Unmul itu sejatinya telah berlangsung sejak 7 tahun lalu. Namun lima bulan terakhir ini meringsek masuk ke area kebun.
Sebanyak 75 patok lahan di pusat penelitian seluas 17 hektare tersebut sudah dirusak. Dari pantauan Koalisi Dosen Unmul beberapa waktu lalu, tumpukan batubara behambur disana, saat itu aktifitas pun sedang berlangsung.
“Ini cukup mengganggu karena secara regulasi sudah jelas, aktivitas itu (illegal) dilarang dalam UU Minerba dan sifatnya pidana,"jelas Wakil Dekan II Fakultas Pertanian Unmul, Nurul Puspita Palupi.
Nurul mengatakan bahwa beragam persoalan ditimbulkan oleh aktivitas PETI. Dari aspek lingkungan yaitu rusaknya lahan pertanian. Juga turut menyumbang penyebab terjadinya banjir.
Olehnya itu para akademisi di Unmul membentuk koalisi. Membuat petisi menolak tambang ilegal di Kaltim. Hingga saat ini sejak Selasa, 7 September 2021, sudah ada 88 yang tergabung dalam koalisi.
"Kenapa kita masuk terlibat didalamnya, karena kita punya kewajiban moral. Kewajiban kita bukan hanya mendidik, tetapi juga pengabdian masyarakat,"imbuhnya.
Petisi penolakan terhadap tambang ilegal telah diserahkan ke Penegak hukum. Dalam petisi itu mereka minta Polisi serius mengusut tuntas kasus tambang ilegal, baik pelaku maupun aktor intelektual yang berada di baliknya. Kepolisian juga diminta harus memberikan rasa aman dan perlindungan kepada warga, terutama yang menjadi korban terdampak tambang ilegal, dari ancaman serta intimidasi para preman yang ada di balik Peti.
Kepolisian harus proaktif mencari, menemukan, dan melakukan proses hukum terhadap kegiatan tambang ilegal, tanpa harus menunggu laporan dari warga terdampak, karena tambang ilegal merupakan delik umum yang bisa diproses hukum tanpa aduan warga.
Pihaknya juga meminta kepada Kapolri untuk melalukan supervisi anggotanya di daerah yang terkesan pasif dan lamban melalukan proses hukum terhadap tambang ilegal.
"Sejak petisi terbuka itu, aktivitas Ilegal di laboratorium Unmul sudah berhenti. Kami berharap agar aparat berwenang bisa menindak seluruh tambang tak berizin di Kaltim,"harap Nurul.
Tambang Ilegal Tumbuh Terorganisir Seolah Dibiarkan
Bagi masyarakat, tambang ilegal bukanlah hal yang baru. Sejumlah area dirambah oleh mereka dengan berbagai dalih. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menyebut, kurun waktu 2011-2021 setidaknya ada 151 lokasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Benua Etam (sebutan Kaltim).
Jumlah itu tersebar di Kabupaten Kutai Kartanegara 107 lokasi, Kota Samarinda 29 lokasi, Kabupaten Berau 11 lokasi, dan Kabupaten Penajam Paser Utara 4 lokasi.Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang meminta aparat serius tanggani PETI, karena negara dalam kasus ini sebagai korban.
"PETI ini dia tumbuh subur karena teroganisir, dia teroganisasi, bahkan bukan saja lintas Kaltim tapi juga lintas kepulauan,"jelas Rupang.
Rupang membeberkan, ada dua penyebab kian merajalelanya tambang ilegal. Pertama karena minimnya penegakan hukum dan yang kedua lemahnya peran kepala daerah.
Faktor lainya karena menjamurnya pelabuhan resmi pengangkutan batubara. Dalam catatan terdapat 185 pelabuhan yang ada di Kaltim, tersebar dari Utara hingga selatan, dari Kabupaten Berau sampai Paser.
"Dari jumlah itu, terbanyak ada di Kukar. Ini juga disinyalir menjadi jalur tikus bagi distribusi batu bara tersebut. Lalu siapa yang punya pelabuhan?, tentu saja perusahaan pelabuhan, atau pemegang ijin usaha produksi baik skala IUL maupun PKP2B . ini ditengarai menjadi jalur tikus peredaran tambang ilegal,"tegas Rupang.
Siapa Saja Yang Mungkin Terlibat?
Ketua Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia (HRLS) Universitas Airlangga, Franky Butar-Butar, mengatakan dalam kegiatan tambang ilegal terdapat keterlibatan individu yang memiliki modal.
Kemudian keterlibatan mereka yang memiliki pengaruh baik di tingkat lokal dan nasional.
Menurut Franky, hal ini disimpulkan dari sebuah logika sederhana, pelaku aktivitas pengerukan emas hitam tak berizin tidak perlu membayar pajak dan kewajiban pemulihan lingkungan. Apalagi aktivitas tambang illegal kini sudah marak dan tidak terkendali.
“Kondisi existingnya (saat) ini tidak terkendali. Oligarki kekuasaan semakin menguat, apalagi (nanti) menjelang pemilihan kepala daerah,” jelasnya.
Sementara itu Jatam Kaltim mencatat dari 13 kasus galian tambang ilegal yang dilaporkan sepanjang tahun 2018-2021, tidak satupun kasus yang diilimpahkan ke pengadilan.
Terindikasi kuat bahwa banyak pihak terlibat kasus ini. Bagi Rupang, kegiatannya terhubung dengan mata rantai yang saling berhubungan. Mulai dari pemodal, mata rantai eksekutor dilapangan dalam hal ini operator, mata rantai dalam urusan distribusi, dan terkahir mengenai penampung.
Sepanjang tahun 2011 sampai 2021, Jatam mencatat keterlibatan sejumlah yang memuluskan hadirnya tambang ilegal
"Masa lalu ada elit politik, kita catat di DPRD Kukar, dia punya peran lakukan tambang ilegal di Tahura, lucunya sipemegang ijin di vonis bersalah, sementara Pemkab Kukar yang keluarkan ijin justru lolos dakwaan bahkan tidak dimasukkan sebagai tersangka,"paparnya.
Selanjutnya pada tahun 2018 ada kejadian oknum polisi yang bekiing aktivitas tambang di Lempake, Samarinda Utara. "Kita tau itu terjadi vonis,"ungkapnya.
Terkahir dugaan tambang didaerah makam Covid Serayu, itu juga para tersangka menyanyi di sidang, mereka sampaikan bahwa mereka terhubung dan komunikasi dengan oknum kepolisian.
Tahun lalu juga rame, bagaiman para politisi saling tunjuk bahwa mereka salah satunya sebagai pelaku tambang ilegal.
"Jadi, tida hanya dilapangan sebagai eks pemodal dalam hal ini pengusaha, dari banyak kejadian, ada indikasi kuat, mereka yang seharusnya memberantas tambang illegal justru “main mata” dengan para penambang. Jadi, akan sangat sulit (diberantas) jika alat negara dipenuhi oleh pelaku dan terhubung dengan pemain (tambang illegal),” ucapnya.
Penulis: Jifran.
Editor: Zaki