Pro dan kontra terjadi antara rektor dan dosen di Unmul, keduanya silang pendapat mengenai postingan BEM KM, Menyebut Wapres Ma'ruf Amin Sebagai Patung Istana. Lalu bagaimana penjelasan BEM KM mengenai postingan tersebut.
SAMARINDA, Arusbawah.co - Rektor dan beberapa dosen di Universitas Mulawarman (Unmul) silang pendapat perihal unggahan Badan Eksekutif Mahasiswa - Keluarga Mahasiswa (BEM - KM) Universitas Mulawarman (Unmul).
Dalam unggahan poster itu, BEM - KM Unmul menyeruhkan ajakan aksi bertuliskan “Kaltim Berduka – Patung Istana Merdeka Datang ke Samarinda” disertakan foto Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Poster tersebut diunggah pada Selasa (2/11/2021). Di hari yang sama, Maruf Amin melakukan kunjungan kerja ke Samarinda dengan sejumlah agenda.
Ia bersama rombongan tiba di Bandara APT Pranoto Samarinda, sekitar 08.57 Wita menggunakan pesawat Kepresidenan Boeing Business Jet 2 (BBJ-2). Sontak ribuan komentar miring nitizen membanjiri laman Instagram BEM KM. Belakangan poster tersebut viral di media sosial.
Rektor Sebut BEM-KM Rendahkan Wibawa Wapres
Beberapa setelah viral, Universitas Mulawarman mengeluarkan tanggapan resmi yang diunggah melalui akun Istagram Unmul. Dalam unggahan yang ditandatangani Rektor Unmul, Masjaya pada 4 November 2021.
Menurut Unmul, subtansi dari unggahan tersebut mengarah pada merendahkan kewibawaan dan martabat Wapres. Unmul menyatakan sejak awal tidak sependapat sekaligus mengecam keras substansi dari unggahan tersebut.
"Unggahan bukan merupakan pendapat resmi yang merepresentasikan Universitas Mulawarman secara kelembagaan," kata Rektor Unmul, Masjaya dalam keterangan tertulis.
Selanjutnya, Masjaya menyesalkan unggahan tersebut dan meminta maaf kepada Wapres Maruf dan masyarakat Indonesia atas ketidaknyamanan yang terjadi akibat unggahan tersebut.
Masjaya kemudian, menginstruksikan pada BEM KM untuk menghapus unggahan tersebut. Ia juga meminta BEM - KM Unmul meminta maaf kepada Wapres Ma'ruf Amin, masyarakat, dan Universitas Mulawarman atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan unggahan tersebut.
"Segera akan melakukan tindakan internal untuk mengambil langkah-langkah tegas kepada BEM KM Unmul," pungkasnya.
Pandangan beberapa dosen Unmul

Sebanyak 16 dosen di Universitas Mulawarman membuat rilis secara bersama merespon hal tersebut. Bagi mereka, unggahan soal "Patung Istana Merdeka Datang Ke Samarinda" merupakan kalimat metaforik bernada kritik dan sedikit sarkastik ini.
Namun poster itu menimbulkan pro dan kontra di tengah publik. Sayangnya, pro dan kontra ini tidak berkaitan sama sekali dengan subtansi kritik BEM KM terhadap Wakil Presiden. Publik justru dominan terlibat dalam pro dan kontra terhadap pilihan diksi "patung istana merdeka" yang digunakan dalam unggahan BEM KM tersebut.
"Padahal membincangkan "isi", tentu jauh lebih baik daripada meributkan "kulit","kata Herdiansyah Hamzah, salah satu perwakilan Dosen, pada 6 November 2021.
Dosen Fakultas Hukum Unmul itu menjelaskan, Metafora adalah gaya bahasa tingkat tinggi yang mencerminkan tingkat intelektualitas seseorang. Sayangnya tak banyak pihak yang mampu sampai pada tingkat kecerdasan demikian, bahkan pejabat negara atau ilmuwan bergelar tinggi sekalipun.
"Olehnya, membungkam dan berupaya mematikan gaya bahasa metafor berarti berupaya mematikan kecerdasan dan intelektualitas sang empunya metafor," terangnya.
Sementara mengenai sarkasme sendiri kata dia, serupa dengan kata-kata pedas, cemoohan, atau ejekan yang biasanya dibungkus dengan perumpamaan dan sedikit humor. Dalam tradisi kritik, selain satire dan sinisme, sarkasme juga kerap digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan amarah.
"Dan dalam kapasitas pejabat publik, sarkasme itu adalah hal yang lumrah. Terlebih terhadap pejabat publik yang cenderung menutup mata dan telinga atas berbagai persoalan rakyat. Yang tidak lumrah adalah, justru pejabat publik yang tipis telinga, anti kritik, bereaksi berlebihan, dan punya kebiasaan menyerang balik para pengkritiknya,"terang pria yang akrab disapa Castro itu.
Dosen kritik sikap Unmul & Rektor
Bagi dosen, enam poin dari keterangan tertulis yang dikeluarkan Unmul, sebagai bentuk pembatasan kebebasan berpendapat bagi civitas akademik.
Sikap Unmul secara kelembagaan tersebut dinilai sangat jauh dari prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dilindungi oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ataupun dari apa yang telah ditegaskan secara eksplisit dalam Universal Declaration of Human Rights, ICCPR, dan Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Bahkan dalam aturan spesifik sendiri melalui Undang-Undang 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Menurut Castro birokrasi kampus semestinya bertanggung jawab memastikan kebebasan akademik tersebut diperoleh dengan baik oleh setiap civitas akademik, bukan sebaliknya.
"Press release Unmul tersebut membuktikan beberapa hal: Pertama, kampus telah gagap dalam menghargai perbedaan pendapat, dengan seolah ingin menjadi penafsir tunggal terhadap satu peristiwa," paparnya.
Kemudian yang Kedua, pertanda kedangkalan pemahaman kampus tentang makna kebebasan akademik sebagai jantung perguruan tinggi.
"Tidak akan ada pendidikan, penelitian, dan pengabdian tanpa kebebasan akademik," jelasnya.
Kemudian masih kuatnya kultur feodal di kampus yang membuat relasi antar civitas menjadi timpang. Dan mahasiswa cenderung menjadi sub-ordinat dari birokrasi.
Keempat, kampus telah terjebak dengan relasi kuasa dengan memberi pembelaan terhadap kekuasaan, namun sebaliknya justru menghakimi mahasiswa. Padahal kampus seharusnya menjadi fungsi kontrol terhadap kekuasaan, bukan sebaliknya.
Selanjutnya, Metafora dan sarkasme adalah kritik sosial dengan tingkat intelektualitas dan kecerdasan tinggi terhadap kekuasaan. Oleh karena itu, lumrah dialamatkan kepada pejabat publik.
Mematikannya setali tiga uang dengan mematikan intelektualitas dan kecerdasan mahasiswa yang sedang bertumbuh sesuai spirit zamannya,"kata Castro, pasalnya itu sebagai bagian dari keluarga besar Unmul, maka kritik ini harus kami sampaikan sebagai wujud kecintaan kami terhadap Unmul.
"Kampus harus menjadi contoh yang baik bagaimana cara kita mengelola perbedaan pendapat dengan baik, sekaligus sebagai tempat yang dapat memberikan jaminan terhadap ruang kebebasan akademik, yang tidak hanya bagi civitas akademik, tetapi juga berjuang untuk memastikan kebebasan tersebut diperoleh oleh setiap kepala warga negara, tanpa terkecuali,"tuturnya.
Alasan BEM sebut Wapres patung istana

Presiden BEM KM Unmul, Abdul Muhammad Rachim memberi penjelasan maksud dari kalimat dalam poster yang di unggah official dari BEM KM. Bagi dia, tanggapan berupa kritikan, pihaknya menerimanya dengan baik sebagai bahan masukan. Tapi tidak mau ambil pusing jika dengan komentar hinaan atau cacian.
Soal patung istana, Rachim Rachim menjelaskan, alasan pihaknya menyebut Maruf sebagai patung istana karena kinerja Maruf sebagai Wapres seperti patung, yang tak menunjukkan pergerakan signifikan, serta kurang maksimalnya sebagai wakil presiden.
"Kami sama sekali tidak bermaksud menghina pribadi beliau, beliau pun sangat kami hormati sebagi ulama, namun kami wajib mengkritisi beliau sebagai wakil presiden,” jelas dia.
Satu hal yang ia tekankan, kata dia, dalam unggahan poster tersebut ada kata Kaltim berduka. Kata itu merujuk pada, meninggalnya korban di lubang tambang batu bara sehari sebelum kedatangan Maruf.
Karena itu, pihaknya ingin memberitahu Wapres bahwa lubang tambang di Kaltim yang direklamasi mengancam nyawa masyarakat Kaltim. Hingga saat ini, sebanyak 40 warga Kaltim meninggal karena lubang bekas tambang batu bara, terhitung sejak 2011 sampai 2021.
"Kami ingin memberitahukan dan mengingatkan kepada RI 2, bahwa Kaltim penuh dengan masalah terutama lubang tambang,” tegas dia. Namun, atas unggahan tersebut, Rachim mengaku menerima banyak ancaman dan doxing yang mengarah ke dirinya.
Cerita Presiden BEM Unmul jadi sasaran teror
Rachim mengaku mendapat ancaman dan cacian bertubi dari orang tak dikenal melalui pesan WhatsApp pribadinya.
Rachim memperlihatkan isi pesan singkat itu dari nomor tak dikenal itu. Bentuk ancaman beragam, dari ancaman pidana, hingga cacian. Kendati demikian, Rachim mengaku tidak mempermasalahkan.
"Saya biarkan saja. Cuma cukup mengganggu, karena lumayan banyak dan sering telpon masuk ke wa saya," pungkas dia. Tak hanya teror, Rachim juga mendapat doxing. Sebuah akun facebook menunggah fotonya dengan keterangan (caption) cacian.
Penulis: Jifran
Editor : Zaky