“Kami minta agar RDP ini diulang karena dari pihak rumah sakit dan dokter DA itu tidak hadir. Kami ingin penyelesaian damai, tapi mereka menutup komunikasi,” tutur Titus.
Peristiwa itu bermula pada 15 Oktober 2024 saat Ria mulai muntah dan diare setelah makan dodol ketan.
Karena punya riwayat maag akut, keluarganya menduga penyakit lama kambuh.
Pihak keluarga kemudian membawa Ria ke Klinik Islamic Center dan didiagnosis, maag akut. Dikarenakan gejala tak kunjung reda, Ria dibawa ke RS Dirgahayu.
Di sana, Ria didiagnosis mengalami dispepsia alias komplikasi lambung akibat muntah terus-menerus.
Karena kamar penuh di RS Dirgahayu Samarinda, ia lalu dirujuk ke RS Haji Darjad (RSHD).
Setibanya di RS Haji Darjad, Ria langsung dibawa ke IGD dengan kursi roda karena tidak mampu berjalan.
Ia ditangani perawat dan dipindah ke ruang rawat inap. Selama dua hari dirawat, Ria melalui kuasa hukumnya, mengaku tak pernah dikunjungi dokter.
“Kami kira sudah sembuh, dia sudah makan normal, bergerak nyaman, tidak ada keluhan di perut,” jelas Titus.
Namun tiba-tiba pihak perawat menyampaikan pesan dari dokter bahwa akan dilakukan operasi usus buntu. Tanpa diskusi atau konsultasi.
“Kami terkejut. Kenapa langsung dijadwalkan operasi?” ungkapnya.
Malam harinya perawat kembali datang dan menyampaikan hasilnya, usus buntu, harus operasi malam itu juga.
Namun hasil USG dan tes darah tidak pernah diperlihatkan.
Klien mencoba menolak, karena merasa tidak sakit di area yang disebut usus buntu.
Tapi pihak rumah sakit dinilai kuasa hukum, mengancam, kalau menolak, harus bayar biaya sejak awal.
Tag