Arus Terkini

Suara yang Hilang! Ketika Alam Menjerit dan Masyarakat Adat Tidak Didengar

Senin, 28 Oktober 2024 3:40

Suara masyarakat Aru, Maluku yang menyuarakan soal keanekaragaman hayati yang harus dilestarikan/ Foto: HO

ARUSBAWAH.CO - Masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia, menyerukan perlindungan keanekaragaman hayati di tanah leluhur mereka.

Aksi damai ini bertepatan dengan perundingan perlindungan keanekaragaman hayati global pada COP16 CBD di Cali, Kolombia.

Mewakili masyarakat Aru, Monika Maritjie Kailey turut hadir di Cali untuk menyuarakan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati di wilayahnya.

Sementara itu, di Pulau Kumareri, Kepulauan Aru, para pemimpin adat dan pemuda Aru mengadakan aksi damai untuk mendukung upaya perlindungan keanekaragaman hayati dunia, terutama di wilayah mereka di Maluku.

Kepulauan Aru merupakan salah satu area kaya keanekaragaman hayati di Indonesia. Aru memiliki 832 gugus pulau dengan total luas daratan 800 ribu hektare yang dikelilingi 4 juta hektare laut dan selat.

Di dalamnya, terdapat 156 ribu hektare mangrove, 550 ribu hektare hutan tropis dataran rendah, 22 ribu hektare padang savana, 19 ribu hektare padang lamun, dan 53 ribu hektar terumbu karang. Bahkan, 21% potensi perikanan nasional (771.600 ton/tahun) ada di laut Aru.

Sayangnya, wilayah Kepulauan Aru tak pernah lepas dari ancaman yang merusak keanekaragaman hayati. Hal ini karena sebagian besar wilayahnya masuk dalam kategori hutan produksi konversi.

Sejak tahun 1970, setidaknya sudah ada empat gelombang izin yang masuk ke Aru, termasuk izin untuk eksploitasi hutan (1970-2000), perkebunan tebu, over-eksploitasi wilayah laut, serta izin IUPHHK-HA (2007-2013), peternakan sapi (2014-2021) dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan - PBPH karbon dan hutan alam (2022-sekarang).

Sejarah kelam inilah yang mendorong masyarakat Aru untuk terus berjuang mempertahankan sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang ada di wilayah adat mereka.

Tag

MORE