Arus Terkini

PPN 12% Diterapkan, Dosen Unmul: Harga Kebutuhan Pokok Naik Sebelum Kebijakan Dimulai

Jumat, 3 Januari 2025 11:9

Foto : Purwadi Dosen ekonomi Universitas Mulawarman/ arusbawah.co

ARUSBAWAH.CO - Pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang resmi diterapkan oleh pemerintah sejak awal tahun ini menuai berbagai kritik.

Salah satunya datang dari Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Purwadi Purwoharsojo, yang menyoroti dampak kebijakan tersebut terhadap masyarakat, khususnya di Kaltim.

Purwadi menyebut, kebijakan PPN yang difokuskan pada barang mewah memang ideal secara teori.

Namun, kenyataannya justru menunjukkan adanya kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat sebelum kebijakan tersebut diberlakukan.

"Ini jadi masalah besar karena dalam teori ekonomi ada konsep bahwa harga yang sudah naik sulit untuk turun kembali," jelasnya kepada redaksi Arusbawah.co melalui telepon pada, Kamis (02/01/2025).

Di Kukar, misalnya, produsen bahkan mengurangi ukuran produk untuk menyesuaikan harga agar tetap terjangkau.

Fenomena ini, menurut Purwadi, tidak hanya terjadi di Kaltim, tetapi juga di berbagai daerah lain.

"Contohnya, harga tempe yang awalnya Rp10.000 kini ukurannya diperkecil menjadi setengahnya dengan harga Rp5.000," tambahnya.

Purwadi juga menilai bahwa rendahnya pajak kendaraan di Kaltim wajar mengingat populasi dan jumlah kendaraan yang tidak sebesar di Jawa.

"Kaltim cuma punya sekitar 4 juta penduduk. Kalau dibandingkan dengan Jawa, yang hampir separuh penduduk Indonesia ada di sana, jelas kondisinya beda," ungkapnya.

Namun, Purwadi mengingatkan bahwa dampak kenaikan PPN ini lebih luas daripada sekadar pajak kendaraan.

Distribusi bahan pangan seperti beras, sayur, kedelai, dan telur menjadi lebih mahal akibat biaya transportasi yang meningkat.

"Transportasi jadi isu besar. Ketika solar langka, pengiriman barang yang seharusnya dua hari bisa molor hingga lima hari. Semua ini ujung-ujungnya membebani konsumen," katanya.

Purwadi menekankan pentingnya pengawasan pemerintah terhadap harga barang pasca kenaikan PPN 12% itu.

"Harga LPG misalnya, katanya Rp18 ribu, tapi di lapangan bisa tembus Rp40 ribu sampai Rp50 ribu. Ini kan bukti bahwa monitoring masih lemah," ujarnya.

Ia juga mengkritisi kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% yang dinilai tidak sebanding dengan lonjakan harga kebutuhan pokok.

"Kenaikan ini terlalu kecil untuk menutupi beban masyarakat akibat inflasi yang curi start sebelum kebijakan diterapkan," jelasnya.

Sebagai solusi, Purwadi mengusulkan agar pemerintah lebih fokus memajaki pengusaha besar, terutama di sektor batu bara.

"Ekspor batu bara kita tahun 2022-2023 mencapai Rp4.000 triliun, tapi negara cuma dapat Rp144 triliun. Idealnya, setidaknya Rp1.000 triliun masuk ke kas negara," pungkasnya. (wan)

Tag

MORE