ARUSBAWAH.CO - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Kaltim masih tengah menjadi sorotan hangat masyarakat.
Pasalnya, meski telah menjadi salah satu janji politik, pelaksanaannya malah terbentur banyak kendala.
Salah satunya masalah alokasi anggaran yang dinilai kurang memadai.
Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, mengatakan bahwa keterlambatan ini menunjukkan kurangnya persiapan matang dari pemerintah.
"Program ini terkesan tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Infrastruktur keuangan untuk mendukungnya jelas belum siap," ujarnya.
Sebagai contoh, anggaran untuk Makan Bergizi Gratis ini hanya Rp10 ribu per anak dari pemerintah pusat, sementara pemerintah provinsi menambahkannya dengan Rp7 ribu, menjadikan totalnya Rp17 ribu per anak.
Namun, bagi Purwadi, angka tersebut masih terlalu rendah.
"Dengan APBD Kaltim yang mencapai Rp25 triliun pada 2024, seharusnya anggaran untuk program ini lebih tinggi, minimal Rp20 ribu hingga Rp25 ribu per anak," tegasnya.
Ia menambahkan, kenaikan harga bahan pokok di Kaltim membuat angka Rp17 ribu per anak terasa tidak mencukupi.
Hal itu pun semakin mencolok karena perbedaan harga bahan pokok di tiap daerah.
Purwadi menyoroti adanya ketidakadilan antara daerah.
"Di Samarinda mungkin Rp10 ribu cukup, tapi di daerah seperti Mahulu atau Penajam Paser Utara, harga itu bisa sangat terbatas," ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengkritik alokasi anggaran yang seharusnya lebih difokuskan pada pendidikan dan kebutuhan gizi anak-anak sekolah, bukan sekadar program pemenuhan kebutuhan makan semata.
Polemik ini semakin memanas mengingat adanya program serupa yang digagas oleh pemerintah pusat.
Dalam skala nasional, program MBG ini menyasar 82,9 juta penerima, dari ibu hamil hingga siswa-siswi sekolah.
Namun, dengan harga per porsi hanya Rp10 ribu, Purwadi menilai bahwa pemerintah kurang memperhatikan kondisi di lapangan.
Tak hanya itu, anggaran untuk makan pejabat juga menjadi sorotan.
"Anggaran makan pejabat bisa dialihkan untuk program MBG. Bayangkan, berapa banyak anggaran yang bisa disalurkan untuk anak-anak yang membutuhkan," tuturnya.
Program MBG ini memang mendapat perhatian besar karena merupakan salah satu janji politik dari pasangan calon gubernur Kaltim terpilih, Rudy Mas'ud dan Seno Aji.
Namun, tantangan terbesar tetap ada pada koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Terlebih lagi, dengan beban anggaran yang begitu besar, Purwadi mengingatkan pentingnya pengelolaan yang efisien dan berkelanjutan.
"Anggaran harus benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar formalitas," tegasnya.
Dengan APBD yang besar, Kaltim sebenarnya memiliki potensi untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk MBG.
"Kaltim punya APBD besar dan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak, jadi sebenarnya kita bisa lebih optimal dalam mengalokasikan anggaran untuk program ini," lanjut Purwadi.
Ia berharap, pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan dampak ekonomi bagi masyarakat kecil, khususnya dalam sektor riil.
Program ini bukan hanya soal pemberian makan bergizi.
Lebih jauh lagi, ini adalah investasi dalam pembangunan sumber daya manusia yang seharusnya mendapat perhatian lebih.
"Jika kita ingin mencetak generasi emas, program MBG ini harus mendapat anggaran yang memadai," kata Purwadi.
Kini, publik menunggu realisasi program yang seharusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dengan APBN 2025 yang mencapai Rp3.600 triliun dan alokasi anggaran yang terbatas, tantangan besar adalah memastikan bahwa dana yang ada tidak hanya cukup untuk kebutuhan pokok, tapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. (wan)