Bagi yang masih berjuang untuk mendapatkan hak tanah, Wati berpesan, “Jangan takut akan kebenaran. Walaupun perjuangannya memang tidak segampang itu, hasilnya indah,” tegasnya.
Luh Sumantri, dua dekade menanti keadilan
Diminta kembali pulang ke Bali setelah bertahun-tahun hidup sebagai transmigran di Timor Timur (kini Timor Leste), Sumantri dan teman-temannya tidak memiliki hak tanah di negerinya sendiri. Selama 21 tahun tinggal lagi di Desa Sumberklampok, Buleleng, selama itu pula eks transmigran Timor Timur mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak tanah. Hingga kini permohonan itu belum dikabulkan.
“Berbeda sekali ketika kami masih tinggal di Timor Timur. Di sana tanah garapan kami lebih luas, dan mudah sekali mencari pekerjaan di ladang. Proses kepemilikan lahan juga mudah. Seiring berjalannya waktu kami tinggal di sana, pemerintah Timor Timur langsung menerbitkan sertifikat tanah, tanpa perlu kami ajukan permohonan,” kata Sumantri.
Sementara itu, di tanah kelahirannya sendiri, Sumantri sudah memohon sangat lama, tapi belum juga mendapatkan sertifikat. Ia bercerita, sejauh ini baru lahan pekarangan saja yang mendapatkan sertifikat, lahan garapannya belum.
Berita baiknya, perjuangan untuk mendapatkan hak tanah di Bali berbeda dari teman-teman mereka di luar Bali. Tidak pernah ada larangan untuk menggarap lahan. Tidak pernah ada kasus menggusur tanaman atau rumah. “Tidak ada yang merusak tanaman kami. Hanya saja, hak kepemilikan tanah itu belum juga diberikan,” tuturnya.
Dengan pendampingan KPA, Sumantri dan teman-teman eks transmigran Timor Timur, melakukan pemetaan partisipatif. Mereka harus mengulang lagi pengajuan permohonan untuk lahan garapan, padahal sebelumnya sudah diajukan bersamaan dengan lahan pekarangan. Tak hanya itu, mereka juga melakukan unjuk rasa secara damai. Sepulang dari Timor Timur, suami Sumantri, I Nengah Kisid, sempat menempati gedung DPR Provinsi untuk meminta keadilan.
Selama ini pemerintah menempatkan mereka di kawasan hutan produksi, yang lahannya bisa digarap untuk pertanian. Selain itu, untuk menambah penghasilan, mereka juga beternak sapi, sebagian juga yang beternak babi. Masing-masing kepala keluarga menggarap 50 are (sekitar 5.000 meter persegi). Sedangkan permohonan atas kepemilikan tanah yang diajukan adalah seluas 136,94 hektar untuk 107 kepala keluarga.
Di lahan garapan yang lokasinya tidak jauh dari rumah, mereka menanam tanaman musiman. Cabai, kacang, jagung, tidak dibawa ke pasar. Ada tengkulak yang membeli dengan harga cukup fair. Sementara itu, lahan pekarangan seluas 4 are ditanami tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Sumantri tak berhenti mendampingi suaminya, yang sejak kembali dari Timor Timur terus memimpin perjuangan tersebut. Setiap kali menghadap pemerintah, Kisid tidak mau dihadapkan pada peraturan pemerintah yang menurutnya tidak terkait dengan masalah yang mereka hadapi. “Suami saya meminta pemerintah agar bijak dalam menyelesaikan kasus pengungsi eks Timor Timur. Kalau mengacu pada peraturan, pasti tidak ada yang nyantel.”
Hidup Sumantri saat ini bisa dibilang sejahtera, tetapi hatinya resah karena tidak punya sertifikat kepemilikan tanah. Ia khawatir akan status tanah yang mereka tempati, karena ada keturunan yang tinggal di sana juga. “Kami tidak pernah tahu kebijakan pemerintah nanti. Beda pemimpin, beda kebijakan. Kami berharap, melalui program-programnya, pemerintah sekarang bisa berpihak pada rakyat. Semoga mereka berkomitmen untuk menyelesaikan kasus eks transmigran Timor Timur.”
(pra)

Tag