ARUSBAWAH.CO - Pembangunan yang masif, seperti pembangunan jalan tol dan kawasan perumahan sangat luas, memberikan kenyamanan bagi penduduk urban. Hanya saja, model pembangunan seperti itu membutuhkan tanah sangat luas. Akibatnya, di sisi lain pembangunan tersebut bisa menyebabkan krisis tersendiri.
“Jika proses-proses pembangunan itu tidak menjalankan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan, banyak pihak akan mengalami krisis. Antara lain, petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan kelompok marjinal, yang dalam sistem agraria di Indonesia selama ini masih menjadi kelompok yang terdiskriminasi dalam hal perlindungan dan pemulihan hak-haknya,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam salah satu rangkaian acara Asia Land Forum (ALF) Februari lalu.
ALF adalah program tahunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak atas tanah dan mempromosikan kolaborasi yang efektif serta inklusif dengan pemerintah di tingkat nasional dan regional.
Ia menjelaskan, situasi atau potensi kekayaan alam yang dimiliki oleh Asia, termasuk jumlah populasi yang sangat besar di Asia, memunculkan tantangan dan ancaman bagi masyarakat di bawah.
“Sehingga, sesungguhnya yang kita harapkan dari momentum kegiatan Asia Land Forum adalah duduk bersama dengan pihak pemerintah dari berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk membicarakan cara mengatur ulang sistem agraria, sistem pertanahan, dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan begitu, tantangan-tantangan yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi di Asia bisa diatasi bersama-sama.”
Sebagian masyarakat di Indonesia mengalami banyak sekali tantangan dan fase kritis yang ditandai dengan ketimpangan penguasaan tanah, perampasan tanah dan meningkatnya konflik agraria. Seperti yang dialami oleh tiga perempuan petani yang hebat dan berani memperjuangkan hak tanahnya ini.
Seperti apa perjuangan mereka selama lebih dari dua dekade?
Tiomerli Sitinjak, tak gentar hadang ekskavator demi lindungi tanahnya

Lahir di tengah keluarga petani, bertani telah menjadi bagian dari kehidupan Tiomerli sejak kecil. Baginya, kegiatan bertani sungguh menyenangkan, karena ada harapan tanaman itu akan tumbuh dengan baik. Itulah kenapa hatinya begitu hancur, ketika tanah yang selama lebih dari 20 tahun menjadi tempatnya bergantung terancam diambil untuk area perkebunan.
“Lebih dari 700 orang datang untuk menghancurkan tanaman dan rumah, 16 unit ekskavator diturunkan pula. Tanpa ingat rasa takut, kami berlari mencegat dan memanjat ekskavator, mencegah mereka menghancurkan semua. Tanah ini adalah kehidupan kami, hasil tani ini untuk menyekolahkan anak-anak kami,” kata Tiomerli Sitinjak dengan suara bergetar menahan tangis.
Ia bercerita, Pematangsiantar, Sumatra Utara, dulunya merupakan perkampungan orang tuanya. Pada 1969 lahan mereka diambil dan dijadikan perkebunan, hingga kemudian pada 2004 HGU perkebunan tersebut habis masa berlakunya. “Karena HGU perkebunan tidak diperpanjang, masyarakat bersama-sama mengklaim lahan ini untuk menjadi tempat tinggal dan lahan pertanian. Jalan sudah dibangun, begitu juga dengan masjid dan gereja.”
Kehidupan mereka aman dan tenteram, hingga pada 2022 perusahaan perkebunan yang sama kembali mendapatkan HGU. Tanpa bertanya pada rakyat, perusahaan tersebut mengerahkan orang untuk merusak semua. Padahal, tidak semua keluarga yang rumah dan tanamannya dirusak tersebut menerima tali asih (semacam penggantian dalam bentuk uang).
Dua setengah tahun terakhir ini Tiomerli dan teman-teman sekampungnya hidup dengan sangat tidak nyaman. “Bahkan, bertani di pekarangan rumah saja tidak aman. Malam hari bisa dirusak orang. Begitu juga kalau kami pergi meninggalkan rumah. Ketika pulang, tanaman sudah dirusak juga.
Masyarakat di sana kini hanya berstatus petani, tapi tak bisa bertani lagi, hanya bekerja serabutan. Apa pun pekerjaan yang ada, akan dikerjakan, termasuk bongkar muat bahan bangunan dan menenun. Padahal, sebelumnya masyarakat di sana hidup dengan guyub dalam bertani. Ketika Tiomerli Sitinjak menanam jagung, ia mengajak teman-temannya untuk bantu menanam. Begitu juga ketika temannya menanam, Tiomerli ikut membantu.
Perjuangan untuk mendapatkan hak tanah masih terus berlanjut. Tiomerli Sitinjak masih dipercaya menjadi Ketua Sepasi (Serikat Petani Sejahtera Indonesia). Tugasnya sebagai Ketua Sepasi adalah merangkul teman-temannya supaya kuat berjuang.
“Tanah ini memang tanah negara. Tetapi, kami masyarakat Indonesia juga berhak atas tanah negara. Itulah semangat yang selalu saya berikan kepada kawan-kawan untuk bertahan hidup di sini. Hidup kami memang agak sulit. Tapi, kalau pindah, akan pindah ke mana? Kalau diberi tali asih 30 juta rupiah, bisa pindah ke mana, mau bekerja apa?” kisahnya, tak bisa menahan air mata.
Tag