Bahkan ia gunakan analogi naturalisasi pemain bola dengan dokter asing, sungguh analogi yang amat jauh secara apple to apple. Pemberhentian dari jabatan struktural tersebut yang terjadi akibat rangkaian tindakan dari kritik yang dilakukan oleh Prof.Budi Santoso terhadap Menkes BGS.
KIKA dan SPK menilai upaya pemberhentian ini adalah bukti nyata tentang otonomi kampus PTNBH, yang menggunakan like and dislike untuk melakukan pemberhentian sepihak pimpinan Universitas. PermenPAN RB Nomor 1 Tahun 2023 telah membawa dampak yang buruk dalam penerapannya. Setidaknya, ada dua problem dasar dari pemecatan Prof. Budi Santoso sebagai Dekan FK Unair dan polemik dokter asing.
"Problem pertama, bagaimana selanjutnya disebut Omnibus Law Bidang Kesehatan memiliki problem sejak awal pembentukannya, mulai dari pembentukan regulasinya berpotensi melanggengkan praktik pembentukan perundang-undangan buruk yang tidak transparan dan tidak partisipasi. Kemudian minimnya partisipasi, bahkan organisasi sejumlah organisasi profesi tidak dilibatkan sehinga mereka menolaknya," demikian rilis sebagaimana diterima tim redaksi.
"Gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Senayan tak pernah digubris, padahal partisipasi bermakna (meaningful participation) merupakan kata kunci agar legislasi tersebut baik. Hal yang tidak kalah fatal adalah memberikan kewenangan besar dan tidak terkontrol (super-body) pada pemerintah dalam mengatur profesi kesehatan," lanjut keterangan yang diterima.
Dilanjutkan bahwa problem selanjutnya adalah tindakan represi yang dilakukan oleh Rektor Unair dengan menghentikan Prof. Budi Santoso secara sepihak merupakan tindakan kesewenang-wenangan, maladministrasi dan yang lebih mendasar, tidak berupaya menjaga kebebasan akademik serta kampus sebagai rumah ilmuwan.
"Tak terhindarkan kesan campur tangan politik kekuasaan, terutama Menkes, untuk mencopot siapapun yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah adalah bagian dari pemberangusan kebebasan akademik dan jelas merupakan bagian dari pembungkaman," demikian disebut dalam rilis.
Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 9 (1), dijelaskan Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Selain itu dalam mekanisme hukum dan HAM di Indonesia, kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan hak yang melekat pada seluruh sivitas, termasuk dalam Pasal 19 Kovenan SIPOL (ICCPR/ Indonesia ratifikasi dalam UU No.12 Tahun 2005) sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, dan Pasal 13 Kovenan EKOSOB (ICESCR/Indonesia ratifikasi dalam UU No.11 Tahun 2005) sebagai bagian dari hak atas pendidikan.
"Sehingga perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik kepada mahasiswa seperti yang terjadi di UNRI dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM!," rilis yang diterima dari KIKA dan SPK.
Disambung, bahwa Rektor Unair seharusnya juga perlu memahami prinsip-prinsip kebebasan akademik yang juga disebut sebagai Surabaya Principles on Academic Freedom 2017 (SPAF), dimana deklarasi ini justru dilahirkan kesepakatannya di Universitas Airlangga pada Desember 2017.
Tag