ARUSBAWAH.CO - Hari ini, Selasa, tepat pada 1 Oktober yang merupakan Hari Kesaktian Pancasila, gabungan masyarakat sipil dan organisasi nirlaba di Kalimantan Timur (Kaltim) ajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung (MA).
JR itu ditujukan untuk Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 terkait Pemberian Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan (PP 25/2024).
Setidaknya, ada 16 (enam belas) pemohon dari berbagai pihak yang akan ajukan JR itu, di antaranya termasuk anak bungsu Gus Dur, Inayat Wulandari, serta pihak dari PWNU Kaltim, Asman Aziz, dan beberapa pihak dari organisasi masyarakat sipil seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Dalam zoom meeting bersama berbagai pihak, termasuk di antaranya kalangan jurnalis, alasan akan diajukannya JR itu sudah diungkap beberapa narasumber yang dihadirkan.
Di antaranya, dari Herlambang Perdana Wiratraman, pihak ahli hukum yang juga hadir dalam zoom meeting itu.
Pertama, ia menyinggung apa urgensinya organisasi masyarakat dalam fungsinya sebagai pihak yang akan mendapatkan izin pengelolaan tambang sesuai PP terbaru itu.
"Apa definisinya, ormas sejatinya bukan untuk kepentingan ekonomi. Ini tidak sesuai dengan visi misi, pendirian organisasi," katanya.
Logika ormas keagamaan yang nantinya juga diberikan kesempatan oleh negara untuk cawe-cawe dalam pengelolaan IUP, juga dinilainya tak masuk akal.
"Bagaimana bisa (masuk) logika, pnguasaan diserahkan ke ormas. Apakah ada pasal yang menyebut, bumi air dan kekayaan dikuasai oleh ormas? Kan tidak, yang ada itu, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran ormas," ucapnya lagi.
"Jadi, melecehkan sekali hadirnya PP ini," ucapnya lagi.
Dia lanjutkan bahwa kalau dilihat secara hukum dan konstitusi, PP soal izin tambang ini juga bermasalah.
Penyebabnya, PP ini mengubah beberapa ketentuan dalam PP Nomor 96 Tahun 2021, salah satunya Pasal 83A yang mengatur bahwa dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan tanpa melalui proses lelang seperti yang diatur di dalam UU Minerba.
Dinilai bahwa PP ini bertentangan dengan UU Minerba, yang mengharuskan izin tambang diberikan melalui proses lelang.
Sementara itu, Hema Situmorang, pihak dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang juga ikut sebagai pemohon sampaikan bahwa adanya PP ini bisa dibilang menjadi bukti bahwa negara melegitimasi. industri ekstraktif.
Selain itu, juga terkesan membuat negara melegitimasi adanya konflik antara ormas agama dengan para korban tambang.
"Ketika ormas beralih ke kepentingan tambang, maka warga-warga yang nantinya akan mendapati dampak negatif dari tambang, akan berkonflik dengan pihak ormas keagamaan yang sekarang jadi pihak yang terlibat dalam lingkar tambang," ucapnya. (pra)