ARUSBAWAH.CO - Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pokja 30 kembali mengadakan diskusi mingguan bertajuk Ngobrol Pilkada Kaltim (Ngopi) pada Jumat (25/10/2024) sore di Colleseum Taman Pasar Segiri, Kota Samarinda.
Diskusi kali ini mengusung tema "Debat Publik - Tanpa Publik - Beban Publik" dan menghadirkan perspektif dari berbagai kalangan untuk menelaah hasil debat Pilgub Kaltim 2024 yang baru saja diselenggarakan.
Dipandu oleh Ocul dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kaltim.
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Purwadi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman (Unmul), Saiduani, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Kaltim, dan Mareta Sari dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim.
Ketiganya memberikan kritik tajam terhadap arah dan substansi dari debat pilgub Kaltim 2024 yang dianggap kurang menyentuh masalah-masalah mendasar di Kaltim.
Salah satunya Purwadi, dosen ekonomi mengkritik debat pilgub itu sebagai ajang pembelajaran kosong yang menurutnya tidak akan ada dampaknya di tingkat lokal.
Bahkan, ia merasa bahwa argumen-argumen dalam debat ini akan mengarah pada perubahan di tingkat nasional bukan di daerah.
"Saya khawatir nanti debat kemarin hanya akan dipergunakan sebagai bahan kampanye semata, sementara masyarakat tetap menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak," ujar Purwadi.
Menurut Purwadi, dalam debat itu semestinya memamparkan terkait dampak sosial dan lingkungan masyarakat, bukan hanya soal keuntungan anggaran.
"Permasalahan di Kaltim para kandidat paslon ini harus menyampaikan soal dampak ekonomi masyarakat yang semakin turun bukan sekadar persoalan angka dalam anggaran", tambahnya.
Dari perspektif masyarakat adat, Saiduani Nyuk AMAN Kaltim memberikan pandangan yang tidak kalah keras.
Menurutnya, debat pilgub Kaltim ini hanya menjadi ajang drama politik, dan jauh dari ekspektasi masyarakat.
Ia merasa bahwa para paslon 1 atau 2 lebih fokus pada retorika daripada solusi nyata untuk persoalan mendasar, khususnya yang dialami oleh masyarakat adat yang sering menjadi korban kebijakan sepihak, seperti penggusuran lahan.
Saiduani juga menyoroti betapa minimnya visi inklusi sosial dalam visi dan misi kedua paslon.
Ia mengamati bahwa tidak ada pembahasan yang memadai terkait perlindungan hak-hak masyarakat adat, kaum disabilitas, atau kelompok minoritas lainnya.
"Kalau kita berbicara soal Kaltim yang kaya akan keberagaman, visi inklusi sosial semestinya menjadi poin penting. Tapi yang ada justru mereka hanya bicara soal anggaran dan infrastruktur tanpa menyentuh hal-hal mendasar," ungkapnya.
Lebih lanjut, Saiduani mengkritik janji-janji yang disampaikan kedua paslon yang dinilainya tidak realistis dan hanya menjadi pembohongan publik.
Ia menilai bahwa masyarakat seolah dianggap mudah percaya dengan janji-janji politik yang sulit terealisasi.
Menurutnya, jika dipikirkan secara logis, janji-janji tersebut hampir tidak mungkin diwujudkan karena terbatas oleh regulasi dan kemampuan anggaran daerah.
"Bagaimana mungkin semua masalah di Kaltim bisa diselesaikan hanya dengan satu kata solusi dari tiap paslon Masalah lingkungan, sosial, hingga kriminalisasi masyarakat adat itu tidak bisa hanya dijawab dengan ya atau tidak", ujar Saiduani.
"Kita butuh pemimpin yang paham persoalan dengan logika dan komitmen untuk menyelesaikannya," tegas Saiduani.
Diskusi antara Purwadi dan Saiduani menunjukkan adanya kolaborasi pemikiran dari sudut pandang ekonomi dan sosial.
Keduanya sepakat bahwa permasalahan di Kaltim bukan sekadar persoalan angka dalam anggaran, tetapi juga terkait tata kelola sumber daya yang melibatkan hak-hak dasar masyarakat. (wan)