Arus Terkini

Cuti Melahirkan Bisa hingga 6 Bulan di UU KIA,  Ketua FSBPI Khawatir Sulit Dipraktekkan di Lapangan

Sabtu, 8 Juni 2024 11:26

"Mungkin bisa bagi sebagian perusahaan, tapi bagi kawan-kawan buruh perempuan di industri manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan, ini struggle banget, karena yang 3 bulan saja sulit, dan pengawasan di dinas tenaga kerja tak melakukan pengawasan pelaksanaan di lapangan. Bagaimana jika

ARUSBAWAH.CO - Disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjadi UU di DPR RI, membuat para pekerja ibu hamil bisa mendapatkan cuti maksimal 6 bulan setelah melahirkan.

Adanya UU ini pun turut direspon beberapa pihak, termasuk salah satunya, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisih.

Kepada tim redaksi Arusbawah.co, Jumisih menjelaskan bahwa ketentuan cuti melahirkan 6 bulan juga mesti dilihat bahwa ini berpeluang mendomestikkan perempuan dari area publik.

"Artinya makin meminggirkan perempuan, seolah-olah kerja merawat anak adalah tanggung jawab ibu semata, padahal kan tidak. Merawat anak adalah tanggung jawab bersama. Setiap perempuan punya pilihannya masing-masing, dan itu layak diapresiasi. Perempuan layak mempunyai ruang untuk mengaktualisasikan dirinya," jelasnya.

Dilanjutkan, saat ini memang implementasi hak cuti melahirkan di lapangan adalah tantangan tersendiri.

Seiring dengan “informalisasi tenaga kerja” yang disahkan oleh UU Cipta Kerja Banyak buruh perempuan tidak berani mengambil hak cuti melahirkannya karena beberapa hal, misalnya takut tidak diperpanjang kontrak kerja, takut di PHK, takut tidak mendapatkan pekerjaan kembali dan itu akan berpengaruh terhadap pendapatan buruh sehingga keluarga nanti makan apa.

"Karena ada juga kejadian, buruh mau ambil cuti melahirkan malah disodorkan surat pengunduran diri. Hal-hal seperti ini sering terjadi di lapangan. Jadi apakah cuti melahirkan 6 bulan bisa dipraktikkan? Mungkin bisa bagi sebagian perusahaan, tapi bagi kawan-kawan buruh perempuan di industri manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan, ini struggle banget, karena yang 3 bulan saja sulit, dan pengawasan di dinas tenaga kerja tak melakukan pengawasan pelaksanaan di lapangan. Bagaimana jika 6 bulan? Ya lebih sulit," ucap Jumisih.

Ia sampaikan lagi bahwa hal lain yang bisa juga terjadi yakni kemungkinan meminggirkan buruh perempuan dari arena hubungan industrial.

"Pengusaha bisa mencari tenaga kerja yang laki-laki saja, atau yang perempuan single saja, atau bahkan bisa menyodorkan kesepakatan untuk menunda kehamilan dg pekerja perempuan. Artinya ini kan mengurangi hak dari si pekerja peremuan itu sendiri. Hak hamil kan pilihan ya," ucapnya.

"Meski ada peluang penguatan di Perjanjian Kerja Bersama (PKB), namun 90% buruh di Indonesia belum berserikat. Jadi ini struggle," tutupnya.

Tag

MORE