Yeta juga menambahkan, “Alih-alih memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan tersebut, Indonesia justru memberikan insentif pajak bagi perusahaan China dan hal ini menyebabkan berkurangnya potensi pendapatan dari pajak investasi asing di dalam negeri, secara bersamaan Indonesia memiliki potensi ketergantungan terhadap ULN (Utang Luar Negeri) China. Situasi banjir insentif fiskal ini kemudian turut berdampak mengurangi rasio pajak terhadap GDP dari 10,9% di 2014 ke 10,1% di 2023.”
Dari studi kasus di atas, Yeta berpendapat bahwa konsep jebakan utang China perlu diredefinisi lebih dari utang finansial, melainkan sebuah kondisi dimana keeratan hubungan ekonomi membuat sebuah negara tidak mampu membuat kebijakan luar negeri yang bebas aktif.
Sikap hati-hati Indonesia tentang isu-isu seperti Xinjiang dan Laut Natuna Utara mencerminkan bagaimana ketergantungan ekonomi pada China membatasi otonomi kebijakan luar negeri.
Zulfikar menambahkan “Pemahaman baru ini dapat menunjukkan bahwa jebakan utang tidak hanya mempengaruhi negara-negara berkembang atau miskin tetapi juga negara-negara yang lebih kaya seperti Qatar, Arab Saudi, dan Kazakhstan, yang telah membatasi kemampuan negara-negara ini untuk bersikap lebih berani soal geopolitik yang sensitif, terutama yang berkaitan dengan China”.
Dalam hal ini, Indonesia perlu meningkatkan kejelasan dalam hubungan dengan China untuk membangun kepercayaan dan akuntabilitas.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengembangkan kerangka kerja yang kuat untuk melindungi dari potensi eksploitasi dan mengurangi ketergantungan berlebihan pada China dengan melakukan diversifikasi politik negosiasi.
“Tidak kalah pentingnya, Indonesia juga perlu memanfaatkan forum multilateral, khususnya terlibat dalam tindakan kolektif untuk meningkatkan kekuatan negosiasi dengan China,” tutup Zulfikar. (pra)
Tag