Arus Terkini

Yang Terjadi di Balik Megaproyek PLTA Mentarang: Warga Dayak Punan Terpaksa Memulung Besi Bekas

Sabtu, 22 Februari 2025 2:52

Kolase Foto Saifullah pengamat sosial dari Kabupaten Malinau dan Mareta Sari Jatam Kaltim/Foto:Arusbawah.co

ARUSBAWAH.CO - PT Kayan Hydropower Nusantara (KHN) saat ini tengah mengembangkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang Induk berkapasitas 1.375 MW di Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara).

Proyek itu merupakan hasil joint venture antara PT Adaro Energy Indonesia Tbk (Adaro), Sarawak Energy Berhad (Sarawak Energy), dan PT Kayan Patria Pratama (KPP).

Pada 2023 lalu Mantan Presiden RI Joko Widodo telah meresmikan peletakan batu pertama PLTA dengan menandai dimulainya pembangunan proyek yang digadang-gadang sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Namun, proyek ini menuai persoalan karena dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya terhadap masyarakat adat Punan yang terdampak relokasi.

Menurut Saifullah Fadli, pengamat sosial dari Kabupaten Malinau, Kaltara, bahwa upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dalam proyek ini patut dipertanyakan.

"Studi ini dilakukan di belakang, bukan sebagai dasar awal pembangunan. Seolah-olah mereka memperhatikan keanekaragaman hayati, tetapi faktanya tidak," ujarnya.

Proses pembangunan PLTA mentarang telah melibatkan lentiring dan pembongkaran beberapa titik yang akan menjadi lokasi bendungan.

Sayangnya, relokasi warga adat dayak Punan dilakukan tanpa kajian yang matang, menyebabkan berbagai kesulitan bagi masyarakat terdampak.

Warga dayak Punan yang direlokasi ke RT 5 Kampung Harapan Maju kini menghadapi krisis air dan listrik akibat dihentikannya bantuan dari perusahaan sejak 2023.

"Sekarang bantuan dari perusahaan sudah dihentikan. Subsidi listrik dan air tidak ada lagi, padahal ini kebutuhan dasar mereka," kata Saifullah.

Selain itu, lahan sawah yang diberikan kepada warga Punan kini tidak bisa lagi digunakan sepenuhnya.

"Mereka sudah panen perdana di awal 2024, tetapi sekarang sawahnya tidak bisa dipakai. Hanya sebagian kecil yang masih berusaha menanam padi," tambahnya.

Banyak warga adat dayak Punan yang akhirnya meninggalkan lokasi relokasi karena kondisi yang tidak layak.

"Sebagian sudah pindah ke Malinau atau desa lain karena tidak tahan hidup di sana," kata Saifullah.

Model kehidupan berburu dan berladang mereka terganggu, yang berimbas pada hilangnya identitas budaya mereka.

Saifullah mengatakan bahwa bagi masyarakat adat dayak Punan, hutan bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga bagian dari kehidupan spiritual dan budaya.

"Hutan bagi mereka seperti air susu ibu. Ketika hutan hilang, filosofi hidup mereka juga ikut lenyap," jelasnya.

Kini, kondisi warga yang direlokasi semakin memprihatinkan.

"Sebagian warga Punan yang tinggal di Kampung Harapan Maju kini terpaksa mencari nafkah dengan memulung besi bekas," ungkap Saifullah.

Mereka bahkan menuntut perusahaan untuk memberikan bantuan seumur hidup.

Tuntutan tersebut didasarkan pada fakta bahwa mereka dipindahkan bukan atas keinginan sendiri.

"Kalau perusahaan yang meminta mereka pindah, maka perusahaan juga harus menjamin kehidupan mereka," tegasnya.

Kemudian, Mareta Sari dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menyoroti keterlambatan studi keanekaragaman hayati yang baru dilakukan setelah proyek berjalan.

"Studi ini seharusnya menjadi bagian dari tahap awal, bukan setelah banyak kerusakan terjadi," ujarnya.

Mareta mengatakan bahwa proyek ini mengancam ruang hidup masyarakat di hilir sungai.

"Tidak hanya masyarakat Punan yang terdampak, tetapi juga lima desa administratif dan 22 komunitas adat lainnya yang masih bergantung pada wilayah yang akan ditenggelamkan," paparnya.

Kekhawatiran lainnya adalah dampak proyek ini terhadap pertanian dan perikanan.

"Di hilir ada tambak dan sawah yang bisa terdampak krisis air akibat pembangunan bendungan ini," tambahnya.

Dengan itu ia melihat bahwa dampak buruk proyek PLTA Mentarang Induk semakin nyata, namun belum ada upaya konkret dari perusahaan maupun pemerintah untuk mengatasi masalah ini.

"Kalau proyek ini terus dilanjutkan, apa mitigasi yang akan dilakukan untuk mencegah krisis ekonomi dan sosial?" tanyanya.

Menurutnya, proyek ini harus dikaji ulang.

"Banyak aspek yang diabaikan, terutama dampak terhadap masyarakat adat dan lingkungan," ujarnya.

Selain itu, masyarakat sipil dan berbagai organisasi lingkungan akan terus mengawal kasus ini.

"Kami akan membawa temuan ini ke jaringan yang lebih luas dan menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab," kata Mareta.

Dalam waktu dekat, Jatam akan meluncurkan laporan mengenai dampak pembangunan PLTA Mentarang ini.

"Kami akan mengungkap kondisi terkini di lokasi proyek dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah," tutupnya.

Ads Arusbawah.co
Tag

MORE