Mulai dari melakukan prosedur pemeriksaan kesehatan antropometri untuk memantau status gizi dan kesehatan masyarakat, memberikan makanan tambahan dan tablet tambah darah bagi ibu hamil, mendorong persalinan di fasilitas kesehatan, memberikan makanan bergizi pada bayi dan balita, memberikan vitamin A, mengobati balita yang mengalami diare, hingga melakukan edukasi soal stunting yang menjangkau semua kecamatan.
Dengan aktivitas tersebut, Kutai Timur yang pernah dianggap sebagai daerah dengan prevalensi stunting paling tinggi se-Kalimantan Timur, kini sudah menurun.
Hal itu terlihat dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur dari 2021 hingga 2023, yang menunjukkan penurunan persentase pada prevalensi stunting di Kutai Timur.
Di mana, jika pada 2021, persentase balita pendek dibandingkan jumlah balita yang diukur berada pada 13,12 persen. Pada 2022 berada pada 12,13 persen dan pada 2023 berada pada level 11,56 persen.
"Memang kemarin secara jumlah itu, kita dianggap paling tinggi se-Kalimantan Timur. Tetapi berkat kegiatan teman-teman, angka stunting ini, sudah mulai menurun," ucap dia.
Menurunnya tingkat prevalensi stunting di Kutai Timur juga tak terlepas dari upaya Pemkab Kutai Timur menambah dan memperbaiki fasilitas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dll), ketersediaan peralatan medis, serta distribusi tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat di daerah terpencil.
Mengatasi stunting memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, melibatkan kebijakan publik, sektor kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. (adv)
Tag