ARUSBAWAH.CO – Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Timur, Mulyadin, tengah menyelidiki dugaan pungutan liar dalam acara pelepasan atau wisuda di sejumlah sekolah.
Laporan dari masyarakat terus berdatangan, membuat Ombudsman membuka posko pengaduan untuk menindaklanjuti masalah ini.
Mulyadin menegaskan, orang tua siswa yang merasa terbebani biaya wisuda dapat melapor langsung ke Ombudsman RI Perwakilan Kaltim.
"Kami berkomitmen menindaklanjuti setiap laporan agar hak masyarakat terlindungi," katanya, Selasa (11/03/2025).
Polemik soal pungutan dalam acara wisuda sebenarnya sudah diatur dalam Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023.
Dalam aturan itu, sekolah boleh menggelar wisuda, tetapi tidak boleh membebankan biaya kepada siswa atau orang tua.
"Pelepasan atau wisuda tidak dilarang, tapi tidak boleh memberatkan orang tua," tegas Mulyadin.
Namun, di lapangan masih banyak sekolah yang menarik pungutan untuk wisuda.
Biaya yang dikenakan bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per siswa.
Hal itu menuai keberatan, terutama bagi orang tua dengan ekonomi menengah ke bawah.
Sering kali, pungutan ini dikaitkan dengan Komite Sekolah yang disebut sebagai pihak yang mengusulkan atau mengelola dana.
Namun, Ombudsman menegaskan bahwa Komite Sekolah tetap bagian dari sekolah, sehingga tidak bisa lepas tanggung jawab.
"Komite Sekolah itu bagian dari sekolah, jangan sampai dianggap terpisah. Pungutan yang dilakukan komite tetap menjadi tanggung jawab sekolah," kata Kepala Bidang Pemeriksaan Laporan Ombudsman, Dwi Farisa Putra Wibowo.
Ia merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016.
Aturan ini melarang Komite Sekolah menarik pungutan dari peserta didik atau orang tua.
"Komite boleh menggalang dana dalam bentuk bantuan atau sumbangan, bukan pungutan wajib," jelasnya.
Ombudsman menilai pengawasan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota masih lemah.
Menurut Dwi Farisa, Disdikbud perlu mengeluarkan edaran resmi yang menegaskan larangan pungutan dalam kegiatan wisuda.
Namun, ia menegaskan bahwa edaran saja tidak cukup.
Harus ada pengawasan yang jelas serta sanksi tegas bagi kepala sekolah atau komite yang melanggar aturan.
"Tidak cukup hanya dengan edaran. Perlu ada tindakan nyata agar aturan ini benar-benar dipatuhi," ujarnya.
Ombudsman juga mendorong Dinas Pendidikan di setiap kabupaten/kota untuk menyediakan kanal pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat.
"Kanal pengaduan harus terintegrasi dengan dinas, sehingga setiap laporan bisa direspons cepat," tambahnya.
Selain Disdikbud, Ombudsman juga menyoroti peran pengawas sekolah yang dinilai belum maksimal dalam mengawasi pungutan liar.
Menurutnya, pengawas tidak hanya bertugas menjaga mutu pendidikan, tetapi juga harus aktif dalam mencegah maladministrasi di sekolah.
"Pengawas sekolah harus memahami semua persoalan pendidikan, termasuk pungutan liar," tegasnya.
Beberapa sekolah bahkan menyamarkan pungutan sebagai sumbangan sukarela.
Padahal, jika ada unsur paksaan atau konsekuensi bagi siswa yang tidak membayar, itu tetap termasuk pungutan liar.
Jika menemukan indikasi pelanggaran, masyarakat diharapkan segera melapor agar bisa segera ditindaklanjuti.
"Dengan adanya laporan dari masyarakat, Ombudsman bisa melakukan investigasi dan menekan pihak terkait agar lebih transparan," pungkasnya.
