ARUSBAWAH.CO - Polemik Uang Kuliah Tunggal (UKT) belakangan hari ini timbul menjadi perdebatan di beberapa provinsi di Indonesia.
Adapun untuk kenaikan UKT, berdasarkan aturan yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024.
Permendikbud ini, dengan Keputusan Mendikbud Nomor 54/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi.
Meskipun sudah disampaikan oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim bahwa kenaikan UKT ini hanya berlaku untuk mahasiswa baru dan tidak diterapkan pada mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan saat ini, tetap saja isu kenaikan UKT menjadi perdebatan di masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Perdebatan itu kemudian memunculkan aksi sejumlah kampus di Indonesia melakukan unjuk rasa, penolakan adanya kenaikan UKT.
Lantas, bagaimana sebenarnya kronologis dan awal mula lahirnya UKT hingga kini diberlakukan secara masif di sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia?
Berikut kami berikan ulasan perihak UKT itu.
Secara sederhana, UKT adalah biaya kuliah yang dikenakan kepada setiap mahasiswa untuk digunakan dalam proses pembelajaran setiap semester.
UKT ini ditanggung mahasiswa yang ingin mendapatkan pendidikan, berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga.
Besaran UKT dihitung dengan mengurangi biaya kuliah tunggal dengan biaya yang ditanggung oleh Pemerintah.
Diberlakukannya UKT, dilihat lagi ke belakang, dimulai dengan adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
UU itu memberikan kewenangan kepada menteri yang mengurusi pendidikan untuk menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi yang menjadi dasar perguruan tinggi negeri menetapkan biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa.
Setelah aturan keluar, pemerintah mengeluarkan aturan pelaksana berbentuk PP Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum.
Beleid ini mengatur ketentuan soal kewenangan menteri pendidikan dalam menetapkan satuan biaya operasional pendidikan tinggi yang menjadi dasar perguruan tinggi menetapkan uang kuliah yang harus ditanggung mahasiswa dan keluarganya.
Salah satunya soal pertimbangan penetapan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi.
Ada 3 acuan yang harus dipakai menteri pendidikan dalam menetapkan standar tersebut;
a. Capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi
b. Jenis program studi
c. Indeks kemahalan wilayah.
Standar itulah yang kemudian dipakai perguruan tinggi negeri dalam menentukan tarif biaya pendidikan.
Akan tetapi, sebenarnya, pihak dari perguruan tinggi tidak bebas dalam menentukan tarif biaya pendidikan tersebut.
Hal itu karena dalam pasal 6 beleid itu, perguruan tinggi tetap diberikan beberapa pagar atau aturan pembatas sebelum akhirnya bisa menetapkan UKT.
Aturan-aturan itu di antaranya:
1. Harus menetapkan tarif biaya pendidikan dengan berkonsultasi dengan menteri
2. Tarif biaya pendidikan harus ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi; mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa.
Lalu, masuk pada tahun ini, Menteri Nadiem Makarim kemudian menerbitkan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, yang mengatur UKT lebih lanjut,
Aturan inilah yang kemudian membuat timbulnya polemik kenaikan UKT.
Aturan inilah yang kemudian memicu polemik.
Usai lahirnya Permendikbud itu, sejumlah perguruan tinggi kemudian menaikkan UKT mereka.
Hal itu, terjadi misalnya di UNY, dimana untuk UKT Golongan X yang pada 2023 lalu berkisar antara Rp7,515 juta-Rp9,655 juta kini melesat menjadi Rp0-Rp14 juta pada tahun ini.
Sebagai informasi, Permendikbud No 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbud ditetapkan oleh Mendikbud Ristek RI, Nadiem Anwar Makariem pada 19 Januari 2024.
Regulasi tersebut terdiri dari 18 halaman yang memuat 7 Bab berisi 34 Pasal dan lampiran.
Dalam rapat dengan pendapat umum (RDPU) BEM Seluruh Indonesia bersama Komisi X DPR RI pada 16 Mei 2024 lalu, isu soal UKT dalam hubungannya dengan Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 ini dibahas detail.
Adalah Ketua BEM Universitas Diponegoro Semarang, Farid Darmawan yang juga menyuarakan hal itu kepada anggota dewan di rapat parlemen.
Ia sampaikan bahwa PTN seharusnya perguruan tinggi negeri (PTN) tidak perlu menaikan UKT atau IPI terlalu besar.
Dikarenakan, saat kampus sudah menjadi menjadi PTN seharusnya sudah siap dalam segala hal, termasuk pengelolaan dan pendanaan finansial kampus itu sendiri.
Jika kesiapa itu ada, maka kampus tidak lagi berbisnis mengandalkan bantuan mahasiswa, dalam hal ini adalah UKT atau IPI.
"Kalau PTN tersebut sudah PTN-BH, sektor bisnis atau unit bisnis sudah dapat dikelola harusnya sudah seattle jangan sampai pengelola keuangan itu ditangguhkan lagi pada mahasiswa," ujarnya dilansir dari TV Parlemen. (pra)