“Situasi ini membutuhkan solusi dan aksi bersama seluruh pemangku kepentingan untuk berdiri bersama menegaskan komitmen untuk percepatan agenda reforma agraria,” sambung Dewi.
Pemerintah baru Indonesia di bawah Presiden Prabowo telah menetapkan Reforma Agraria sebagai jalan mewujudkan swasembada pangan melalui: program perbaikan kesejahteraan petani dan peningkatan produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan kelautan.
Pemerintah juga menjadikan Reforma Agraria sebagai jalan untuk mewujudkan pemulihan alam, pemerataan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, pembangunan pedesaan dan penguatan badan usaha koperasi.
“Pencapaian tersebut perlu partisipasi rakyat yang kuat dan bermakna sehingga momentum ALF ini menjadi kesempatan untuk melahirkan komitmen bersama antara pemerintah dan gerakan reforma agraria,” tegas Dewi.
Tema besar ALF 2025 ini adalah menjamin hak atas tanah untuk masa depan yang adil dan berkelanjutan.
Di dalamnya ada empat topik besar, yakni reforma agraria, konflik agraria, perlindungan pembela hak atas tanah dan lingkungan hidup, hak perempuan atas tanah dan aksi iklim serta manusia, iklim dan alam.
Anu Verma, koordinator International Land Coalition di Asia, mengatakan, Asia adalah rumah bagi sekitar 4,8 miliar penduduk, yang merupakan 59,5 persen dari populasi global. Dengan pendapatan ekonomi besar, kaya sumber daya alam, pasar tenaga kerja, modal, dan barang yang substansial, Asia telah menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi global.
“Tapi perburuan mineral di Asia, termasuk Indonesia, telah menyebabkan peningkatan investasi tanah, yang sering kali mengorbankan masyarakat lokal. Investasi ini, yang didorong oleh pasar global yang kompetitif, menghidupkan kembali warisan ekstraksi kolonial yang semakin merugikan masyarakat,” kata Verma.
Tak heran, lanjut Verma, masalah perampasan tanah terus mengancam masyarakat yang rentan.
“Perempuan di Asia hanya memiliki 10.7% tanah, jauh di bawah rata-rata global, dan satu dari sepuluh perempuan hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang memperburuk tantangan para pembela perempuan,” katanya.
Verma menegaskan, ILC teguh mendukung organisasi akar rumput yang berkomitmen untuk mendorong tata kelola lahan yang berpusat pada masyarakat dan memberdayakan kelompok rentan, seperti petani kecil, perempuan, masyarakat adat, dan pemuda untuk melindungi tanah mereka dan mengamankan hak-hak mereka.
Sementara Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi memaknai ALF 2025 sebagai momentum konsolidasi dan perjuangan ekonomi politik negara-negara di Asia, dalam percaturan geopolitik global.
Saat ini Asia dari posisi semula sebagai penyedia bahan mentah, sedang didorong menjadi negara industrialisasi. Proses ini memutus rakyat dari sumber penghidupannya dan menjadikan rakyat sebagai tenaga kerja murah. Industrialisasi pun akan menambah konsekuensi kerusakan lingkungan.
Tag