Arus Terkini

Yuk, Kenalan dengan 6 Delegasi Muda Indonesia di COP 16 CBD Kolombia

Senin, 21 Oktober 2024 3:58

Deliana (Foto_ IG dellysape)

ARUSBAWAH.CO - Pekan ini, lebih dari 190 negara akan berpartisipasi dalam Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP CBD 16) di Cali, Kolombia.

Kegiatan ini akan mempertemukan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi pemerhati, masyarakat adat, bisnis, kelompok orang muda, masyarakat sipil, dan akademisi.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menegaskan, konferensi tersebut sangat relevan dengan Indonesia, yang biodiversitasnya sangat tinggi.

Biodiversitas tak hanya mencakup satwa dan tanaman, melainkan juga manusia, termasuk masyarakat adat yang juga menjadi bagian dari ekosistem itu sendiri.

COP kali ini sangat penting untuk menunjukkan siapa sebenarnya penjaga keanekaragaman hayati atau biodiversitas di bumi ini. Juga untuk memastikan kehidupan yang selaras dengan alam. Gangguan alam sekecil apa pun akan berdampak signifikan terhadap kehidupan manusia, karena manusia sejatinya menjadi bagian dari ekosistem tersebut. Contohnya, wabah COVID-19 yang pernah menyerang kita, terjadi karena adanya gangguan ekosistem dan rantai makanan. Hingga kemudian memunculkan dan menyebarkan virus baru dan berdampak sangat besar terhadap kehidupan manusia,” kata Mufti.

Berkaitan dengan peran orang muda, Life of Pachamama (organisasi bentukan sekelompok orang muda di Kolombia, yang menjadi penyelenggara COP16 CBD), mengadakan sebuah program solidaritas di COP16 CBD.

Organisasi itu mengungkapkan, kegiatan ini merupakan platform yang dinamis untuk mengintegrasikan pengalaman dan memobilisasi pemimpin muda dalam isu biodiversitas yang kritis.

Mereka menekankan pentingnya partisipasi orang muda dari kawasan Global South dalam dialog tentang keadilan iklim dari wilayah dan komunitas mereka, sekaligus mendorong kerja sama dan solidaritas.

Jose Fernando Palacio (Co-leader COP16 Strategy) dan Juan David Amaya (Associate Director) dari Life of Pachamama menjelaskan, para delegasi muda Indonesia dipilih berdasarkan sejumlah pertimbangan.

Misalnya, representasi yang adil diupayakan dari seluruh wilayah Indonesia, dengan perhatian khusus pada daerah yang paling terdampak oleh perubahan iklim dan titik-titik keanekaragaman hayati yang teridentifikasi.

Di samping itu, delegasi harus menunjukkan keterlibatan aktif dalam kelompok-kelompok keadilan iklim di tingkat lokal, nasional, atau internasional.

Jose dan Juan menegaskan, setiap delegasi memiliki peran penting di COP16.

Selain berpartisipasi dalam sejumlah panel utama, mereka juga akan memiliki ruang untuk berinteraksi langsung dengan para pengambil keputusan global.

Hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa suara masyarakat dan wilayah yang paling terdampak dipertimbangkan dalam diskusi keanekaragaman hayati.

“Kami berharap para delegasi muda ini melihat diri mereka tidak hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai aktor transformatif. Semoga pengalaman ini akan memperkuat kapasitas mereka untuk memengaruhi kebijakan di masa depan, dan bahwa mereka akan kembali ke komunitas mereka dengan alat dan pengetahuan yang memungkinkan mereka untuk terus memperjuangkan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.” ujarnya.

Kenalan, yuk!

Deliana (Foto_ IG dellysape)

Tantangan modern, seperti globalisasi, memunculkan risiko kehilangan identitas budaya.

Anak-anak muda Dayak Simpakng (Dayak Simpang) cenderung terpapar oleh pengaruh luar yang dapat merusak pengetahuan tradisional.

“Di Sekolah Adat Arus Kualan, semua orang bisa menjadi guru, dan alam raya adalah ruang kelas kami. Tidak ada dominasi, dan semua individu adalah sama. Sekolah ini bertujuan untuk menyatukan anak-anak Dayak, terutama untuk memungkinkan mereka kembali pada nilai-nilai adat, belajar pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, menanamkan rasa identitas yang kuat pada generasi muda Dayak, dan menekankan pentingnya tumbuh sebagai orang Dayak di era modern,” kata Deli, yang pada 2014 mendirikan sekolah tersebut bersama perempuan adat lain bernama Plorentina Dessy Elma Thyana.

Sekolah yang telah mempunyai empat cabang ini membawa banyak perubahan.

Salah satunya, menghidupkan kembali pengetahuan tradisional yang telah terlupakan dan terkikis oleh zaman. Dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial, sekolah ini mendokumentasikan pengetahuan para tetua yang diturunkan secara lisan melalui film dokumenter, penulisan, dan penelitian.

"Di samping itu, rasa percaya diri anak-anak terhadap kebudayaan mereka juga meningkat. Sebelumnya, mereka tidak berani tampil di depan umum dan berbicara tentang budaya mereka,” kata Deli.

Deli juga melakukan advokasi terhadap isu-isu lingkungan, pendidikan, serta hak-hak pemuda dan masyarakat adat. Uniknya, salah satu media utama yang ia gunakan untuk menyampaikan pesan-pesan positif adalah alat musik tradisional khas suku Dayak bernama sape’.

“Musik sape' memiliki kekuatan besar, karena mewakili suara alam Kalimantan, mengalun dengan harmoni yang mencerminkan hubungan yang erat antara masyarakat adat Dayak dengan alam dan lingkungannya. Melalui melodi dan alunan sape’ yang dihasilkan, saya dapat menyuarakan keresahan tentang deforestasi hutan Kalimantan, hilangnya hak-hak masyarakat adat, serta ancaman terhadap kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak,” kata Deli.

Tag

MORE