ARUSBAWAH.CO - Pada November 2024 lalu, sebuah insiden berdarah terjadi di sebuah bengkel mobil di Jalan Tridarma, Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda.
Seorang teknisi bengkel berinisial HD (25) kehilangan nyawa usai dipukul dengan palu besi oleh rekan kerjanya, RD (21), yang diduga terpancing emosi akibat perkelahian.
Awalnya, HD terlibat cekcok dengan karyawan lain KH, setelah diduga mengambil alih pekerjaan rekannya tersebut.
Adu mulut berubah menjadi perkelahian fisik.
Dalam situasi yang memanas itu, RD sempat mencoba melerai, namun justru kemudian mengambil palu bogem seberat 5 kilogram dari gudang dan menghantam kepala HD.
Korban langsung roboh dengan luka parah di kepala dan bersimbah darah.
Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong.
Hasil visum dari RSUD Abdoel Wahab Sjahranie menyatakan, korban mengalami luka terbuka serta memar berat di wajah dan kepala sebelah kiri.
Pemeriksaan lanjutan mengungkap adanya keretakan pada tengkorak dan pendarahan otak yang menyebabkan kematian.
Namun, keluarga korban mempertanyakan dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negri Samarinda pada, Selasa (6/5/2025).
RD dijerat dengan pasal alternatif, dan tuntutan hukuman terbatas pada empat tahun penjara.
Padahal, menurut pihak keluarga dan kuasa hukum, tindakan RD tidak mencerminkan upaya melerai, melainkan serangan yang disengaja.
Salah satu poin yang disorot adalah fakta bahwa palu yang digunakan bukan berada di lokasi kejadian, melainkan diambil dari gudang, yang menunjukkan ada niat dan waktu untuk berpikir sebelum melakukan pemukulan.
Fakta itu tidak tercantum dalam dakwaan maupun rilis resmi kejaksaan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda telah menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada RD dalam sidang yang sedang berlangsung.
Namun, putusan tersebut dinilai belum memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.
Kuasa hukum korban, Laura Azani, menyatakan bahwa pasal yang seharusnya dikenakan adalah Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, bukan pasal alternatif yang lebih ringan.
“Ini bukan lagi sekadar penganiayaan. Korban tewas akibat pukulan benda tumpul berat. Istri korban bahkan harus melahirkan dalam keadaan kehilangan suami dan tanpa dukungan,” kata Laura saat ditemui usai persidangan.
Istri korban, Febby Ayu Indah Lestari (26), juga menyampaikan kekecewaannya.
Ia menyebut sempat dijanjikan santunan untuk biaya persalinan, namun hingga kini tidak ada bantuan yang diterima dari pihak pelaku.
“Saya ditinggal suami saat sedang hamil besar. Katanya mau bantu biaya lahiran, tapi sampai sekarang tidak ada realisasi. Saya benar-benar kecewa,” ucap Febby penuh haru.
Laura menegaskan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan keadilan dan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya, termasuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
“Langkah lanjutan akan kami ambil, demi memastikan keadilan benar-benar ditegakkan,” tutupnya.
(wan)
