ARUSBAWAH.CO - Wacana kampus mengelola tambang menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk Akademisi dan DPRD Kaltim.
Salehuddin, anggota Komisi I DPRD Kaltim dari Fraksi Golkar, menyatakan sikap tegas menolak rencana tersebut karena dikhawatirkan akan mengganggu fungsi utama perguruan tinggi.
"Saya pribadi menolak. Kampus itu punya tanggung jawab besar dalam tridharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kalau diberi kewenangan mengelola tambang, dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan yang justru merusak esensi dunia pendidikan," kata Salehuddin, usai mengukuti rapat paripurna pada, Jumat (07/02/2025).
Menurutnya, dunia pertambangan erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi, yang bisa menggeser fokus utama perguruan tinggi.
Oleh karena itu, ia menilai RUU Minerba yang memungkinkan kampus mengelola tambang justru bertentangan dengan misi utama pendidikan di Indonesia.
Aliansi Dosen Universitas Mulawarman (Unmul) sebelumnya telah menyatakan komitmennya untuk menolak kampus mengelola tambang.
Mereka mengkhawatirkan bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam industri ini dapat merusak independensi akademik dan menjadikan kampus lebih berorientasi pada keuntungan.
Soal ini pun ia respon.
"Kita sepakat dengan akademisi yang menolak ini. Jangan sampai kepentingan ekonomi mendisrupsi pendidikan di Indonesia," ujar Salehuddin.
Menurutnya, sektor pertambangan lebih tepat dikelola oleh badan usaha atau Ormas yang memang memiliki kapasitas di bidang itu.
Sebaliknya, kampus harus tetap fokus dalam meningkatkan kualitas SDM agar bisa bersaing di tingkat regional maupun global.
Saat ini, draft RUU Minerba masih dalam pembahasan di DPR RI.
Salehuddin tegaskan DPRD Kaltim akan menyampaikan aspirasi penolakan ini ke fraksi mereka di DPR RI.
"Kami punya jalur untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, termasuk dari mahasiswa dan akademisi, agar ini bisa jadi pertimbangan di tingkat nasional," tegasnya.
Ia juga ingin agar aspirasi yang disampaikan akademisi bisa sampai ke Badan Legislasi Nasional (Balegnas), sehingga wacana ini tidak hanya menjadi isu lokal, tetapi juga mendapat perhatian lebih luas.
Meski menolak kampus mengelola tambang secara langsung, Salehuddin tidak menutup kemungkinan adanya kerja sama antara perguruan tinggi dan perusahaan tambang.
"Kalau ada program kerja sama, seperti beasiswa atau penelitian yang dibiayai lewat program CSR perusahaan tambang, saya sangat mendukung. Karena itu masih sejalan dengan tridharma perguruan tinggi," ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa bentuk kerja sama itu tidak boleh sampai membuat perguruan tinggi kehilangan perannya sebagai institusi pendidikan dan kontrol sosial.
Ia nilai, perguruan tinggi harus tetap menjaga independensinya agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan.
"Kalau kampus langsung mengelola tambang, saya khawatir ini bisa menjadi preseden buruk. Pendidikan bisa terdistorsi karena lebih fokus ke keuntungan ekonomi," kata Salehuddin.
Ia menyoroti bahwa selama ini tantangan terbesar pendidikan di Indonesia ialah kurangnya keterkaitan antara dunia akademik dan industri.
Namun, menyerahkan pengelolaan tambang ke kampus bukanlah solusi yang tepat.
Terakhir, Salehuddin menegaskan bahwa perguruan tinggi harus tetap menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan kontrol sosial.
"Jangan sampai dunia pendidikan kehilangan independensinya. Kampus harus tetap menjadi lembaga yang kritis, bukan justru ikut terlibat langsung dalam industri yang diawasi," pungkasnya. (wan)
