Bhima menambahkan bahwa paradigma dalam mengindikasikan kerugian negara juga problematis.
“Peningkatan belanja pemerintah untuk proyek berbasis bahan bakar fosil, seperti bandara dan ibu kota baru IKN Nusantara, telah menguras sumber daya keuangan, sehingga mengurangi dana untuk proyek terbarukan. Apakah itu bukan kerugian negara?” ujarnya.
Indonesia perlu bergerak cepat. Negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam telah berinvestasi besar dalam peningkatan transmisi untuk mendukung energi terbarukan dan mengadopsi teknologi jaringan pintar untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan, yang berpotensi menurunkan biaya bagi konsumen dan mendukung integrasi energi terbarukan, yang dapat menjadi contoh bagi Indonesia.
“Secara keseluruhan, urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara,” tutup Bhima.
Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, menegaskan bahwa pensiun dini PLTU batubara adalah bagian integral dari proses transisi energi yang cepat dan adil, yang memungkinkan Indonesia mengatasi dampak krisis iklim.
“Biaya untuk transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU, tidak bisa dipandang sebagai kerugian negara. Justru, biaya yang dikeluarkan akibat kelalaian dalam transisi energi itulah yang berpotensi menimbulkan kerugian dalam konteks yang lebih luas,” ujar Leonard.
Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), menyatakan bahwa percepatan pembangunan smart grid akibat pensiun dini PLTU batubara merupakan investasi yang menguntungkan bagi Indonesia.
Tag