ARUSBAWAH.CO - Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas Kota Samarinda, sosok Wati Ningsih yang lebih dikenal dengan nama Fitri, diambil dari nama anaknya, terus melaju dengan sepeda motor kesayangannya
Jaket hijau Gojek yang ia kenakan setiap hari bukan hanya sekadar seragam kerja, tetapi simbol perjuangan seorang ibu tunggal yang berjuang untuk menghidupi anak semata wayangnya.
Arusbawah.co menggali kisah hidup Ibu Wati Ningsih, seorang wanita biasa di Samarinda, yang memiliki cerita sendiri soal bagaimana ia menghidupi keluarganya.
“Saya Wati Ningsih, tapi teman-teman di Gojek lebih memanggil saya Bu Fitri, itu saya pakai nama anak saya,” ujar perempuan berusia 45 tahun itu saat diwawancara, pada Jumat (25/4/2025).
Sudah lebih dari 30 tahun, Fitri tinggal di Kota Samarinda.
Ia bukan orang asli kota tepian, melainkan berasal dari Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Fitri mengaku terakhir ia menginjakkan kaki di kampung halaman pada 2021 lalu.
Kini, kampung halamannya hanya tinggal kenangan yang jarang dijenguk karena kondisi yang kini belum memungkinkan.
Sejak 3 Maret 2018, Fitri resmi menjadi mitra Gojek, setahun setelah suaminya meninggal dunia.
“Awalnya saya ragu banget, Mas. Saya kan ibu rumah tangga biasa, gaptek, nggak tahu teknologi. Baca peta pun nggak bisa, jalanan cuma tahu ke pasar itu-itu aja. Tapi karena harus berjalan, saya paksa belajar, dan Alhamdulillah sekarang malah menikmati pekerjaan ini,” ungkapnya duduk bersama wartawan Arusbawah.co di sebuah kafe.
Saat ini, Fitri tinggal di kawasan Jalan Panjaitan, Kelurahan Sempaja Utara, Kota Samarinda.
Setiap pagi, ia harus mengurus rumah, baru mulai bekerja sebagai driver ojek online pukul 09.00 pagi hingga larut malam.
Sebagai tulang punggung keluarga, Fitri menjalani peran ganda, menjadi ibu sekaligus ayah bagi anaknya yang kini duduk di bangku kelas 9 SMP Aminah Syukur Samarinda.
“Mau nggak mau, saya harus kuat. Anak saya adalah satu-satunya harapan saya. Dia penyemangat saya. Walaupun kadang ada ribut di rumah, tapi dia tetap sumber kekuatan saya,” ucapnya, dengan mata yang mulai berkaca.

Selama enam tahun menjadi driver ojek online, Fitri tak hanya menghadapi panas, hujan, dan kelelahan.
Ia juga harus berhadapan dengan rasa sepi, kehilangan, dan kenangan lama yang datang tanpa diundang.
“Kadang, kalau hujan, saya sering nangis di jalan. Ingat almarhum suami. Dulu dia nggak pernah dia membiarkan saya kehujanan. Sekarang? Semua saya lakukan sendiri,” ungkapnya, dengan suara yang bergetar.
Bagi Fitri, pekerjaan sebagai driver ojek online sering dipandang sebelah mata.
Namun, ia membalikkan anggapan itu.
“Orang-orang sering berpikir kalau ojol itu hanya pekerjaan untuk orang yang tidak punya, padahal banyak loh di Gojek yang lulusan sarjana. Ada mantan polisi, pengacara, macam-macam. Saya bertemu banyak teman hebat di sini,” tegasnya.
Sejak 2019, Fitri aktif di komunitas Bubuhan Gojek Samarinda (Budgos).
Dari awalnya hanya menjadi bendahara Korwil, kini ia sudah menjadi salah satu pengurus di komunitas itu.
“Jika ada kecelakaan atau kejadian di lapangan, komunitas yang pertama kali membantu. Kami memiliki Satgas internal yang membuat kami merasa nyaman di komunitas budgos,” kata Fitri.
Namun, tidak semua hari-hari Fitri berjalan dengan mulus.
Kadang-kadang orderan sepi, atau ia bertemu dengan customer yang membuatnya frustrasi.
“Yang bikin sedih itu, kalau chat nggak dibalas. Atau rumahnya susah dicari dan nggak ada petunjuk sama sekali. Tapi, kebahagiaan saya juga sederhana. Misalnya, saat sampai tujuan, ternyata mereka sudah menunggu di depan rumah. Itu saja membuat saya merasa dihargai,” katanya.
Kemudian, saat pandemi covid-19 melanda, Fitri merasakan betul pentingnya peran ojek online.
“Masya Allah, warga Samarinda sangat baik waktu itu. Kita jadi ujung tombak dalam mengantar makanan, obat-obatan. Rasanya seperti memiliki peran nyata di tengah krisis,” ungkapnya.
Meskipun sudah nyaman menjadi driver ojek online, Fitri masih menyimpan impian lain.
“Saya ingin membuka warung makanan, tapi belum bisa sekarang. Anak masih sekolah, biaya terus berjalan. Dan membuka usaha itu butuh waktu dan modal besar. Jadi, saya masih bertahan di ojol dulu,” ujar Fitri.
Dalam mengatur keuangan keluarganya, Fitri tidak pernah membuat perencanaan yang terlalu rumit.
“Biasanya ngalir saja. Nanti ada jalannya. Bismillah, pasti ada rezeki kalau mengantur keuangan di cukup-cukupin aja, saya bersyukur berapapun yang saya dapat,” katanya.
Bagi Fitri, perempuan yang menjadi tulang punggung dalam keluarga adalah sosok yang luar biasa.
“Banyak perempuan yang jadi tulang punggung, meskipun punya suami. Kadang suaminya tidak bertanggung jawab atau penghasilannya kecil. Tapi demi anak, mereka tetap bekerja. Itu luar biasa,” ujarnya.
Meski tantangan datang silih berganti, Fitri tetap berdiri teguh, mengendarai motornya, menyusuri jalan-jalan kota tepian, membawa makanan, penumpang, dan harapan.
“Kalau putus asa, jangan. Karena anak saya, cuma punya saya. Dan saya juga, cuma punya dia,” tutup Fitri dengan penuh haru. (Irwan)
