ARUSBAWAH.CO - Satu mahasiswa menjadi korban pemukulan oleh aparat kepolisian dalam aksi demonstrasi di depan gedung DPRD Kaltim pada Senin (26/8/2024).
Video pemukulan mahasiswa itu sempat terekam digital dan beredar di media sosial serta aplikasi perpesanan WhatsApp.
Ditelusuri tim redaksi, mahasiswa yang jadi korban pemukulan itu adalah Syahril.
Syahril yang juga merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Samarinda pun menceritakan kronologis saat dirinya mendapatkan kekerasan dari aparat kepolisian itu.
Diwawancara via sambungan telepon dan pesan WhatsApp pada Selasa (27/8/2024), Syahril membenarkan dirinya mengalami kekerasan berupa pemukulan di bagian kiri rahang wajahnya.
“Iya mas, saya ikut dan saya juga kena dalam insiden itu,” ucap Syahril.
“Pemukulan di bagian kiri rahang yang menyebabkan lebam dan pembengkakan dalam,” tambah Syahril.
Ia juga beritahu bahwa dalam aksi tersebut terdapat korban selain dirinya yang mengalami luka hingga dibawa ke rumah sakit.
“Ada mas selain saya, teman saya ada yang patah tulang bagian engsel kaki, dan luka di bagian mata harus dibawa ke rumah sakit,” ucap Syahril.
Syahril terkejut pada saat itu hanya berniat untuk salat di dalam Kantor DPRD, lalu tanpa ia sadari saat berdiskusi pada pihak keamanan itu, tiba - tiba pukulan mendarat di wajahnya.
“Begini, saya saat itu cuma mau niat salat di dalam izin bersama beberapa teman, gak niat apa - apa,” ucap Syahril.
“Di situ kami ada sedikit perdebatan dengan keamanan dan tiba tiba saya kaget ditinju sampai jatuh ke bawah,” tambah Syahril.
Ia katakan lagi, bahwa atas dasar kekerasan yang diterimanya itu, pihaknya akan lakukan langkah-langkah terkait, termasuk melaporkan ke Polda Kaltim.
Laporan untuk itu, disebutnya sedang disusun.
“Saat ini sedang disusun (laporan) dan akan masuk di Polda Kaltim, di bantu HMI Kaltim dan Mabes Polri dibantu HMI Pusat,” tutupnya.
Adanya aksi kekerasan oleh aparat kepolisian itu sebenarnya bertentangan dengan aturan pada kepolisian itu sendiri.
Hal ini karena, polisi dilarang untuk melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan.
Itu sebagaimana tertuang dalam dalam Pasal 10 huruf c Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Di Pasal 10 huruf c Perkap ini berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct), yaitu tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan.”.
Tak hanya itu, larangan melakukan kekerasan saat bertugas juga tertuang dalam Perkap yang sama, yakni pada Pasal 11 Ayat 1 huruf j, Pasal 24 huruf b, Pasal 27 Ayat 2 huruf h, dan Pasal 44.
Dalam Perkap di atas, disebutkan tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.
Polisi yang melakukan tindakan melanggar HAM wajib mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku.
Sanksi ini tertuang dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Perkap Nomor 14 ini juga mengatur tentang larangan melakukan kekerasan saat polisi bertugas.
Dalam Pasal 13 Ayat 1 huruf e tertulis, “Setiap anggota Polri dilarang berperilaku kasar dan tidak patut.” Sementara Pasal 15 huruf e berbunyi, “Setiap anggota Polri dilarang bersikap, berucap dan bertindak sewenang-wenang.". (dil)