Arus Publik

Tolak Keras Revisi UU MK, Surat Terbuka Untuk Jokowi dan Puan Dari 26 Akademisi

Sabtu, 18 Mei 2024 19:10

Revisi UU MK

Arusbawah.co - Tak berhenti menuai kritik dan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang sedang di kebut oleh Pemerintah dan DPR.

Kali ini, 26 orang akademisi mengeluarkan surat terbuka bagi Presiden Joko Widodo dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) Republik Indonesia, Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, Jakarta 17 Mei 2024.

Surat terbuka ini berisi penolakan keras, Rancangan Perubahan Keempat Undang-Udang Mahkamah Konstitusi, dari kelompok akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara, yang tergabung dalam, Constitutional and Administrative Law Society (CALS).

Menurut Herdiansyah Hamzah, salah satu akademisi asal Fakultas Hukum Universitas Mulawarman menyebutkan revisi ini syarat kepentingan Pemerintah dan DPR untuk membajak independensi Mahkamah Konstitusi beserta Majelis Kehormatan MK.

“ini upaya, penggunaan hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis yang merusak bangunan negara hukum, demokrasi, dan mengancam independensi Mahkamah Konstitusi,” ujar Herdiansyah akrab di sapa Catro saat dikonfirmasi pada Sabtu, (18/05/2024).

Salinan surat yang diterima tim redaksi Arusbawah.co, kelompok akademisi ini menyatakan pengesahaan yang terkesan kejar tayang ini di lakukan Pemerintah dan DPR, di masa lame duck alias bebek lumpuh atau mendekati transisi estafet pemerintahan periode selanjutnya.

“tidak seharusnya menentukan kekuasaan bagi kehakiman ini di masa transisi, ini kejahatan yang coba dilegalkan lewat UU,” pungkas Hendriansyah.

Sebelum itu, mari kenali istilah lame Duck dalam surat terbuka ini, Dilansir hukumonline.com

Lame Duck (bebek lumpuh) sesungguhnya istilah politis yang dimaknai sebuah kondisi pasca pemilihan umum yang mana anggota parlemen yang lama belum berhenti bertugas dan anggota yang baru terpilih dalam pemilihan umum belum dilantik, sehingga dapat dimaknai sebagai “periode transisi”, sebagaimana Anda sebutkan.

Sedangkan secara harfiah, Lame Duck merujuk pada seekor bebek yang terluka dan tidak mampu merawat dirinya sendiri, menjalani sisa hidupnya tak tahu untuk apa dan menunggu predator memangsanya atau mati secara perlahan.

Perubahan Keempat UU MK ini dinilai CALS, mengandung masalah prosedural dan masalah materiil yang berbahaya.

Perkara Prosedural Revisi UU MK, dijabarkan dalam lima persoalan oleh kelompok akademisi ini.

Pertama, perubahan terhadap UU MK kerap bersifat reaksioner dan tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang.

Mereka juga mencatat, perencanaan Perubahan Keempat UU MK tidak terdaftar dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024 dan tidak terdaftar dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2024 ataupun dalam daftar kumulatif terbuka tahun 2024.

Kedua di samping itu, CALS menyebutkan pembahasan pada Pembicaraan Tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa.

“Terdapat satu fraksi yang tidak dilibatkan, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan,” sebut CALS.

“sejumlah anggota Komisi III DPR bahkan tidak tahu adanya pembahasan Perubahan Keempat UU MK pada Pembicaraan Tingkat I," Ujar CALS.

Ketiga DPR dan Presiden pun mengabaikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

“kanal partisipasi publik ditutup dan dokumen perancangan undang-undang seperti RUU dan naskah akademik tak dapat diakses secara formal oleh public,” kata CALS.

Keempat, pembahasan memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh), Kelima, pembahasan dilakukan di masa reses, bukan di masa sidang.

“Masa reses DPR harusnya fokus menyerap aspirasi, bukan kebut-kebutan bahas UU Krusial untuk masa depan kehakiman,” ucap CALS.

Sedangkan bagian materil di revisi UU MK ini, kelompok akademisi mengurai perubahan Keempat UU MK ini, sejatinya tak berorientasi pada penguatan MK, melainkan untuk membajak independensi MK beserta Majelis Kehormatan MK.

Pertama, dalam satu dekade terakhir, perubahan terhadap UU MK, belum menyentuh pokok-pokok yang krusial bagi penguatan kewenangan dan kelembagaan MK, lebih banyak mengotak-atik masa jabatan hakim.

“baik di UU Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 4 Tahun 2014 yang dibatalkan seluruhnya dan UU Nomor 7 Tahun 2020,” Catat CALS.

Pokok perubahan UU MK yang belum menyentuh penguatan kewenangan dan kelembagaan MK, CALS Menyebutkan, seperti, perumusan standardisasi yang setara pada tiga lembaga pengusul, penguatan kewenangan MK melalui constitutional complaint dan constitutional question, pembaruan hukum acara MK, pengetatan penegakkan etik hakim konstitusi, jaminan keamanan masa jabatan bagi hakim konstitusi

Kedua, kami melihat terdapat indikasi untuk mengotak-atik konfigurasi hakim konstitusi agar terisi jajaran yang lebih sesuai dengan kehendak DPR dan Presiden,” timpa CALS.

CASL Menyebutkan, Pasal 23A Ayat 2, 3, dan 4 Perubahan Keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per lima tahun oleh lembaga pengusul.

DPR dan Presiden perlu memahami bahwa MK merupakan lembaga negara yang memainkan peran checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif serta berkedudukan sejajar dengan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.

“bukan bersifat subordinat terhadap lembaga pengusul, sehingga praktik recall tidak dapat dibenarkan,” Tandas CALS.

Ketiga, CALS menemukan bahwa upaya intervensi terhadap MK tak hanya pada masa jabatan dan penyelenggaraan kewenangan saja, melainkan juga pada lembaga penegak etiknya.

Pasal 27A Perubahan Keempat UU MK menambahkan tiga personil Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul.

“Konfigurasi seperti ini potensial mempersempit ruang bagi MKMK untuk lebih independen mengawasi kinerja sembilan hakim konstitusi, sehingga semakin mudah diintervensi oleh lembaga pengusul di masa depan,” Tuding CALS.

Keempat, Pasal 87 Perubahan Keempat UU MK menjadi aturan peralihan yang mengindikasikan adanya upaya untuk menyaring hakim konstitusi petahana.

Indikasi itu dilihat, dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul bagi: (a) hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) hakim konstitusi yang telah menjabat melebihi sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun.

“Aturan peralihan ini problematik karena berlaku surut bagi hakim konstitusi yang saat ini menjabat,” Ujar CALS.

Kumpulan akademisi ini juga mengingatkan, DPR dan Presiden perlu mengingat pesan dalam Putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023, 29 November 2023, bahwa perubahan substansi UU tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat (orang yang terpengaruh produk hukum) dari substansi perubahan UU.

“Dalam konteks ini, perubahan tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Selain itu, tidak terdapat fairness (keadilan) dalam penerapan ketentuan ini,” Pungkasnya.

Tag

MORE