Arusbawah.co - Terkesan kejar tayang dan sembunyi-sembunyi, langkah pemerintah menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan ke empat UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Hal ini menuai kecaman dari banyak pihak, karena dinilai memilik motif kepentingan lembaga pengusul.
Seperti halnya kritis keras datang dari Dosen Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah.
Kepada Tim redaksi, Jumat (17/05/2024).
Menurutnya, Motif utama revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) untuk mengendalikan para hakim MK. Agar sejalan dengan keinginan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah.
Tidak heran jika dalam draf revisi itu diatur mengenai masa jabatan wajib di kembalikan kepada lembaga pengusul dalam hal ini DPR dan Pemerintah untuk dapat Persetujuan.
"Masa jabatan 10 tahun, dimana setelah 5 tahun wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul untuk dapat Persetujuan," tandas Castro sapaan akrab.
Jika hal ini terjadi, Indonesia bisa jadi satu-satunya negara yang memberhentikan hakim di tengah masa jabatan.
"Kalau RUU ini disahkan, mungkin Indonesia satu-satunya yang memberhentikan hakim ditengah masa jabatan atas dasar persetujuan lembaga pengusul. Ini kan gila!," ucap Castro dengan nada cemas.
Lanjutnya, Kalau diberhentikan ditengah jalan banyak (meninggal, melakukan perbuatan pidana, dll). Tapi kalau diberhentikan ditengah jalan atas dasar persetujuan lembaga pengusul, ini yg baru di indonesia." Pungkas nya.
Di ketahui Komisi III DPR pada 13 Mei lalu, saat masa reses, melakukan rapat tertutup dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto.
Meskipun tidak semua perwakilan fraksi partai politik di komisi III itu hadir, peserta rapat sepakat membawa revisi atau perubahan keempat UU MK itu ke rapat paripurna untuk disetujui dan disahkan menjadi undang-undang.
Castro berpendapat Memang tidak ada larangan secara gamblang membahas Revisi Undang-Undang (RUU) pada masa reses Dewan Perwakilan Rakyat.
"Memang tidak ada larangan secara eksplisit membahas RUU dimasa reses, tapi bukan berarti di perbolehkan juga," ujar nya.
Karena menurutnya, ketiadaan larangan itu tidak bisa dijadikan justifikasi pembahasan RUU dimasa reses. Sebab hal itu tidak di atur.
"Masa reses dan masa sidang adalah dua hal yang bertolakbelakang," tandasnya.
Castro juga menjelaskan pengertian reses itu merupakan agenda di luar masa sidang.
"jadi bagaimana mungkin agenda di luar masa sidang tapi justru dijadikan masa pembahasan RUU? Kan ngaco jalan pikirannya!," tegas Castro.
Berikut pemahaman Masa Sidang Dan Masa Reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, dilansir dpr.go.id
Tahun sidang DPR RI diawali setiap tanggal 16 Agustus dan diakhiri tanggal 15 Agustus tahun berikutnya. Artinya, awal tahun baru bagi Anggota Dewan adalah pada tanggal 16 Agustus. Hari permulaan Tahun Sidang dibuka dengan Pidato Kenegaraan Presiden dan dilanjutkan dengan Pidato Pembukaan Masa Persidangan I oleh Pimpinan DPR.
Dalam satu tahun sidang, waktu kerja DPR dibagi menjadi empat atau lima masa persidangan. Dimana setiap masa persidangan terdiri dari masa sidang dan masa reses.
Masa sidang adalah masa dimana DPR bekerja di dalam gedung DPR. Pada masa ini, berbagai aktivitas dilakukan Anggota Dewan di dalam kompleks gedung Senayan, mulai dari kegiatan rapat-rapat dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi (membentuk UU), fungsi anggaran (penetapan APBN), maupun fungsi pengawasan yang melibatkan rapat-rapat dengan pemerintah, sampai dengan kegiatan menerima dan memperjuangkan aspirasi rakyat, baik yang datang ke DPR secara individu maupun berkelompok (termasuk para demonstran).
Sementara masa reses merupakan masa dimana para Anggota Dewan bekerja di luar gedung DPR, menjumpai konstituen di daerah pemilihannya (Dapil) masing-masing. Pelaksanaan tugas Anggota Dewan di dapil dalam rangka menjaring, menampung aspirasi konstituen serta melaksanakan fungsi pengawasan dikenal dengan kunjungan kerja. Kunjungan kerja ini bisa dilakukan oleh Anggota Dewan secara perseorangan maupun secara berkelompok. (Kub)