Advertorial

Pengakuan MHA di Kubar, Pihak DPMK Jelaskan soal Manfaat 

Senin, 2 Desember 2024 8:45

Foto bersama staf dan pegawai DPMK Kutai Barat/ HO

ARUSBAWAH.CO - Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Kutai Barat melalui Kepala Bidang Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Kampung, Erlinsiana sampaikan pihaknya mendukung adanta penguatan, pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Dikatakan olehnya kepada Tim Redaksi, MHA ini adalah bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.

“Keberadaan MHA mencerminkan keberagaman Indonesia. Pengakuan dan perlindungan mereka merupakan amanat konstitusi yang harus dijalankan,” ujar Erlinsiana.

Lebih lanjut, menurutnya, Kabupaten Kutai Barat, wilayah terluas keempat di Kalimantan Timur, memiliki luas 20.384,6 km².

Dengan 16 kecamatan, 190 kampung, dan 4 kelurahan, Kutai Barat dihuni oleh 172.288 jiwa dari berbagai etnis, seperti Dayak Bahau, Dayak Tunjung, dan Kutai.

Wilayah ini kaya akan budaya dan tradisi yang masih lestari hingga kini.

Setiap etnis memiliki tata kelola adat unik, mencakup sistem sosial, ritual, dan pengelolaan sumber daya alam.

Hal itu mendorong perlunya pengakuan hukum formal agar komunitas adat dapat melestarikan budaya mereka dan berkontribusi dalam pembangunan daerah.

Pengakuan terhadap MHA memiliki dasar hukum kuat. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membuka peluang besar bagi komunitas adat untuk diakui sebagai Desa Adat.

Kemudian, ini memungkinkan MHA mengelola wilayah secara mandiri dengan basis hukum yang jelas, meningkatkan daya saing dan kemandirian mereka.

Di Kutai Barat, beberapa komunitas adat telah menerima pengakuan resmi melalui Surat Keputusan Bupati.

Di antaranya adalah MHA Dayak Benuaq Telimuq Kampung Penarung dan MHA Suku Dayak Bahau Uma Luhaat Kampung Ujoh Halang.

“Langkah ini adalah bukti nyata keberpihakan pemerintah kepada masyarakat adat. Mereka berhak mendapatkan pengakuan formal atas wilayah dan tradisi mereka,” tambah Erlinsiana.

Pengakuan resmi terhadap MHA membawa berbagai manfaat.

Secara administratif, komunitas adat dapat mengakses anggaran dari APBN, APBD, dan APBDes untuk pemberdayaan masyarakat.

Di sisi sosial, pengakuan ini memperkuat identitas komunitas dan meningkatkan kebanggaan lokal.

“Selain itu, manfaat ekologis juga sangat besar. Pengelolaan wilayah adat berbasis kearifan lokal mampu menjaga keseimbangan lingkungan,” terang Erlinsiana.

Hal itu memberikan jaminan kelestarian lingkungan di wilayah adat.

Dengan pengelolaan berbasis kearifan lokal, ekosistem dapat terjaga, mendukung pelestarian sumber daya alam di Kutai Barat.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Minimnya tenaga teknis dan keterbatasan literasi masyarakat adat dalam menyusun dokumen etnografi menjadi kendala utama.

“Proses administrasi seperti ini sering kali menjadi hambatan karena kurangnya tenaga pendamping yang memahami prosedur teknis,” ujar Erlinsiana.

Selain itu, belum semua kampung memiliki batas administratif yang jelas, menyulitkan proses identifikasi.

Untuk mengatasi ini, pemerintah telah menyusun berbagai strategi, seperti pertemuan teknis, sosialisasi, hingga pendampingan langsung ke komunitas adat.

“Kami terus melakukan sosialisasi dan pendampingan agar proses pengakuan ini dapat berjalan lancar. Pendekatan jemput bola adalah salah satu cara kami mempercepat proses ini,” tambahnya.

Erlinsiana berharap, dengan berbagai langkah ini, MHA di Kutai Barat dapat semakin berdaya.

“Kolaborasi antara pemerintah dan komunitas adat sangat penting untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan,” tutupnya. (adv)

Tag

MORE