Arus Publik

Krisis Wilayah Adat dan UU Masyarakat Adat Jadi Sorotan Rakernas Aman, Kekerasan di Muara Kate Turut Disorot

Jumat, 18 April 2025 14:23

SEREMONIAL - Seremonial pada Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) VIII Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Desa Kedang Ipil/ HO

ARUSBAWAH.CO -  Ratusan perwakilan Masyarakat Adat dari seluruh Indonesia menghadiri Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) VIII Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Desa Kedang Ipil, wilayah adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, Kalimantan Timur, selama tiga hari, mulai Senin (14/4/2025).

Forum tiga tahunan tersebut menjadi ajang konsolidasi gerakan Masyarakat Adat untuk merespons krisis yang semakin kompleks akibat derasnya laju pembangunan nasional yang kerap mengabaikan keberadaan dan hak mereka.

Dengan mengusung tema "Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak", RAKERNAS AMAN ke-8 difokuskan untuk mengevaluasi kinerja organisasi, merumuskan arah kebijakan internal, serta menyusun strategi advokasi terhadap ancaman struktural yang terus meningkat.

Ketua Panitia RAKERNAS, Yoga Saeful Rizal, menegaskan bahwa pemilihan Desa Kedang Ipil sebagai lokasi penyelenggaraan bukanlah keputusan sembarangan.

“Desa ini merupakan garis depan perjuangan Masyarakat Adat, yang terus ditekan oleh ekspansi sawit hingga pembangunan Ibu Kota Negara (IKN),” ucapnya dalam rilis resmi yang diterima media.

Kepala Desa Kedang Ipil, Kuspawansyah, dalam sambutannya menyoroti persoalan tuduhan tak berdasar yang sering dialamatkan kepada warganya terkait praktik ladang berpindah.

“Sejak dahulu, ladang kami tak pernah memicu kebakaran. Tuduhan itu sangat menyakitkan dan tidak memiliki dasar ilmiah,” tegas Kuspawansyah.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menyampaikan bahwa sepanjang Januari hingga Maret 2025, pihaknya mencatat 110 kasus kriminalisasi terhadap komunitas adat di Indonesia. Pada tahun sebelumnya, tercatat 121 kasus yang mengakibatkan perampasan lebih dari 2,8 juta hektare lahan dari 140 komunitas adat.

Dalam laporan tersebut, Kalimantan Timur menjadi salah satu provinsi yang paling terdampak. Di Muara Kate, dua warga adat menjadi korban kekerasan saat memblokade truk tambang milik PT Mantimin Coal Mining (MCM); salah satu di antaranya meninggal karena luka serius di bagian leher.

Sementara itu, di kawasan Sepaku, komunitas Suku Balik terusir karena pembangunan IKN, dan di Paser, kawasan mangrove milik komunitas Rangan diuruk untuk keperluan proyek batubara. Warga Kedang Ipil pun terus berjuang melindungi hutan adat mereka dari serangan korporasi sawit.

Rukka menambahkan bahwa kebijakan pemerintah pusat seperti penetapan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN), revisi Undang-Undang TNI, UU Cipta Kerja, hingga UU Minerba memperparah ancaman terhadap keberlangsungan wilayah adat.

“Konstitusi memang mengakui hak Masyarakat Adat, tapi belum ada aturan hukum yang terintegrasi secara menyeluruh,” jelas Rukka.

Ia menilai bahwa legitimasi komunitas adat sering kali diabaikan meskipun ada landasan hukum formal.

“Hukum negara bisa mengesahkan, tapi belum tentu sah di mata masyarakat. Legal belum tentu legitimate,” tambahnya.

Rukka juga mengungkap bahwa kriminalisasi terhadap pembela hak-hak adat masih terus berlangsung, dan ketahanan masyarakat harus dibangun tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental dan spiritual.

“Resiliensi berarti pulih dengan kesadaran akan sejarah, spiritualitas, dan politik, bukan sekadar bertahan,” tegasnya dalam forum dialog.

Dalam sesi diskusi publik, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menyatakan bahwa demokratisasi di Indonesia tengah mengalami regresi serius. Ia menyebut pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai solusi kunci.

“Selama ini pengakuan Masyarakat Adat antar-lembaga negara tidak sinkron. Satu-satunya jalan adalah sahkan UU Masyarakat Adat,” ujar Yance.

Ia menekankan bahwa Masyarakat Adat tidak anti terhadap pembangunan, namun mereka menolak jika pembangunan menghilangkan identitas melalui perampasan tanah.

“Tanah adalah identitas kami. Mengambil tanah berarti menghapus sejarah dan keberadaan kami,” pungkasnya.

RAKERNAS AMAN VIII menjadi ruang pertukaran pengalaman lintas komunitas dalam membangun daya tahan terhadap tekanan negara maupun korporasi, sekaligus memperkuat jaringan solidaritas gerakan adat di seluruh Nusantara. (pra)

Ads Arusbawah.co

 

Tag

MORE