Arus Publik

Kaltim Dinilai Rawan Krisis Seni, Manajemen Disebut Jadi Kunci Kemajuan

Rabu, 1 Januari 2025 12:42

Acara bertajuk SERAUNG Refleksi Akhir Tahun Bubuhan Seniman Kaltim/HO

ARUSBAWAH.CO - Rahmad Azazi Rhomantoro, Founder Tirtanegoro Foundation, mengungkapkan keresahannya terhadap kondisi seni dan budaya di Kaltim.

Menurutnya, komunitas seni di Kaltim masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam aspek manajerial.

“Yang paling rapuh itu ya kita, secara komunitas. Kalau manajemen kita bagus, seni dan budaya pasti bisa maju,” ujarnya.

Namun, Rahmad juga menyoroti rendahnya minat seniman lokal untuk mengelola manajerial secara profesional.

“Orang mau nggak direpotkan oleh manajerial yang rumit? Padahal itu kunci kemajuan,” tambahnya.

Menurutnya, seniman harus kuat secara manajerial untuk bersaing dan bertahan.

Rahmad menjelaskan beberapa tantangan besar yang dihadapi, seperti kurangnya SDM, idealisme yang tidak realistis, hingga reorientasi visi komunitas seni.

Seniman kita sering hidup segan mati tak mau. Mereka bertahan sendiri tanpa dukungan yang jelas,” katanya.

Ia mencontohkan, apresiasi terhadap seniman seringkali hanya berupa sertifikat tanpa dukungan finansial yang memadai.

“Kalau nggak ada dana, siapa yang mau belajar seni dan budaya? Akhirnya, kita dimarginalkan. Seniman jadi ngamen di pinggir jalan. Pemerintah seharusnya memikirkan solusi untuk itu,” kritiknya.

Rahmad juga menyinggung kurangnya ruang terbuka untuk seniman berkarya di Samarinda.

Tirtanegoro Foundation berusaha menciptakan ekosistem seni yang lebih baik melalui pengelolaan profesional.

“Kami coba bikin ruang kelas yang terstruktur, meski berbayar. Misalnya, kelas tari kontemporer dengan pelatih profesional, yang digaji sesuai standar,” jelas Rahmad.

Hal ini bertujuan agar seniman tidak hanya berkarya, tapi juga bisa hidup dari seni.

Selain itu, Tirtanegoro Foundation juga menggagas festival seni dan budaya skala besar seperti Nusantara Literary Festival, yang melibatkan kementerian.

“Kami bayar seniman untuk menjuri dan tampil. Artinya, mereka dihargai,” tambahnya.

Rahmad tak segan mengkritik pemerintah daerah yang menurutnya kurang serius mendukung seni.

Ia menyoroti minimnya data tentang komunitas seni di Kaltim dan ketidaksiapan birokrasi dalam menyediakan ruang bagi seniman.

“Birokrasi itu harusnya tahu ada berapa pegiat seni di daerahnya. Kalau nggak, gimana mau mendukung?” ujarnya.

Namun, ia juga mengkritik seniman yang tidak profesional.

“Banyak yang habis pentas langsung pulang, sampah berserakan. Padahal hal sederhana seperti itu penting untuk membangun kepercayaan,” jelasnya.

Menurutnya, seniman juga harus belajar administrasi, seperti membuat proposal yang meyakinkan untuk mendapatkan dana.

Rahmad bermimpi membawa Tirtanegoro Foundation ke level internasional, seperti Salihara di Jakarta.

“Saya ingin kita punya galeri seni yang diakui dunia. Sekarang saja, seniman luar negeri sudah sering datang untuk diskusi dan berkarya di sini,” katanya.

Ia berharap seniman di Kaltim bisa lebih kreatif dalam mencari peluang kolaborasi, baik dengan pemerintah maupun sektor swasta.

“Kita harus berdiri di tengah-tengah, nggak berpihak ke pemerintah atau swasta, tapi fokus pada ekosistem seni yang sehat,” jelasnya.

Meski perjuangan masih panjang, Rahmad optimis seni dan budaya di Kaltim bisa bangkit.

Ia berharap ada integrasi antara pemerintah, komunitas, dan sektor swasta.

“Kuncinya itu kolaborasi. Kalau semua mau repot sedikit, kita pasti bisa,” tutupnya. (wan)

Tag

MORE